32

197 24 0
                                    

Lisa menggigit bibir ketika kata-kata Will terngiang lagi di telinganya. Lima hari... Nyonya Kim sudah lima hari tidak makan. Lisa juga hanya makan sedikit sekali, tapi ia masih muda, sehat dan kuat. Sikap Lisa melembut karena ia tahu jika sang nenek tidak sanggup makan berarti menghilangnya Mingyu membawa kesedihan yang mendalam yang tidak ingin diperlihatkannya.

Sambil mendesah penuh tekad, Lisa merapikan rambut di dahinya lalu memutuskan nampan itu adalah ajakan untuk berdamai. Ia memutuskan demikian karena tak mampu membayangkan wanita berusia tujuh puluh tahun itu mati merana.

Lewat pintu ruang duduk biru yang setengah terbuka, Lisa melihat sang nenek duduk di kursi bersandaran tinggi, menatap api di perapian. Meskipun sedang sedih, wanita tua itu tetap nampak agung. Namun sesuatu dalam sikap tubuhnya yang kaku dan menjaga jarak itu mengingatkan Lisa akan ibunya ketika ayahnya baru saja meninggal, sebelum ibunya berubah menjadi getir karena datangnya istri ayahnya yang satu lagi.

Lisa perlahan-lahan masuk ke ruangan, bayangannya tertangkap mata sang nenek sehingga wanita tua itu mengangkat kepala. Wanita itu cepat-cepat memalingkan wajah, tapi Lisa sempat melihat air mata di mata pucat sang nenek.

"Your Grace?" sapa Lisa dengan lembut sambil melangkah ke depan.

"Aku tidak memberimu izin untuk menggangguku di sini," hardik wanita itu, tapi kali ini Lisa tidak terperdaya dengan nada ketusnya.

Dengan nada lembut seperti yang ia pergunakan kepada ibunya, Lisa berkata, "Tidak, Ma'am, kau memang tidak memberiku izin."

"Pergi sana."

Terpukul tapi bertekad bulat, Lisa berkata, "Aku tidak lama-lama, tapi aku harus minta maaf atas perkataanku kepadamu beberapa menit lalu. Apa yang kuucapkan tadi sungguh tidak patut."

"Aku terima maafmu. Sekarang pergilah."

Tak menghiraukan pelototan sang nenek, Lisa berjalan maju. "Ku pikir, karena kita berdua harus makan, mungkin makanan itu bisa lebih ditoleransi kalau kita makan bersama. Kita.."

"Mungkin kita bisa menerima kehadiran satu sama lain,"

Amarah memercik di mata wanita yang perintahnya diabaikan oleh Lisa itu. "Kalau kau ingin ditemani, kau seharusnya pulang ke rumah ibumu, seperti saranku lima belas menit yang lalu."

"Tidak bisa."

"Kenapa?" tanya wanita tua itu dengan ketus.

"Karena," bisik Lisa dengan suara tercekat, "Aku ingin berada di dekat orang yang juga mencintai dia,"

Rasa pilu terlihat jelas pada wajah sang nenek sebelum ia berhasil mengendalikan dirinya lagi, tapi pada saat itu juga Lisa dapat melihat derita yang mendalam yang disembunyikan di bawah topeng harga diri kaku wanita itu.

Hati Lisa pilu karena iba, namun ia berhati-hati untuk tidak memperlihatkannya. Ia lekas-lekas duduk di kursi depan sang nenek lalu membuka salah satu nampan. Perutnya bergolak ketika melihat makanan, tapi ia tersenyum. "Apakah kau mau seiris ayam yang lezat ini? Atau kau lebih suka daging?"

Sang nenek ragu-ragu sejenak, matanya menyipit menatap Lisa. "Cucuku masih hidup!" tukasnya, ekspresinya seakan menantang Lisa untuk menyanggah hal itu.

"Tentu saja dia masih hidup," Lisa segera mengiyakan, tahu dirinya akan segera diusir jika mengatakan tidak. "Aku mempercayai itu dengan sepenuh hati."

Sang nenek mengamati wajah Lisa, menilai kejujurannya, lalu ia mengangguk kecil ragu-ragu dan dengan parau berkata, "Sepertinya aku bisa makan ayam sedikit."

Mereka makan dalam keheningan yang hanya sesekali diusik oleh suara derak api di perapian. ketika Lisa bangkit dan mengucapkan selamat malam barulah wanita tua itu berbicara, dan untuk pertama kalinya dia menyapa Lisa dengan namanya.

Something Wonderful (GYULIS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang