90

191 22 13
                                    

"Your Grace?" suara Seungcheol yang mendesak menghentikan lamunan Mingyu dan ia seketika menegakkan tubuh, bermaksud ingin berjalan menuju kontes menembak. Pertandingan itu lebih mirip lawakan dari pada sesuatu yang serius, para kontestan menembak dengan mata kabur karena terlalu banyak minum bir ke arah papan sasaran yang dipakukan ke pohon. "Saya berkeras Anda harus pergi sekarang juga," bisik Seungcheol, berjalan mendekati Mingyu.

"Jangan bodoh," hardik Mingyu, kesabarannya telah benar-benar habis untuk Seungcheol berserta semua teorinya. "Maksud di balik surat yang dikirimkan sepupuku sudah sangat jelas, mereka merencanakan pesta ini bersama-sama, itulah sebabnya mereka dua kali bertemu diam-diam."

"Tak ada waktu untuk memperdebatkan hal itu," kata Seungcheol marah. "Beberapa menit lagi hari akan gelap dan anak buah saya bukan burung hantu. Mereka tak dapat melihat dalam gelap. Saya telah menyuruh mereka mengambil posisi di depan di sepanjang jalan pulang."

"Berhubung sekarang sudah sangat terlambat untuk sampai di rumah kala hari masih terang, aku tak mengerti apa bedanya jika aku tetap berada di sini lebih lama lagi."

"Saya tidak akan bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu pada diri Anda jika Anda tidak mau segera pergi," Seungcheol memperingatkan sebelum membalikkan diri dan mengendap-endap pergi.

***

"Sulit dipercaya, para pria dewasa itu menyoraki kura-kura supaya menang," Jisoo terkekeh, melihat Yugyeom dan suaminya. "Sepertinya aku harus pergi mengingatkan mereka agar menjaga etiket sebagai orang yang punya jabatan penting," ujarnya lalu dengan hati-hati turun dari panggung tanpa berniat melakukan apa yang dikatakannya. "Sebenarnya, aku ingin ke sana untuk melihat pemenangnya sampai garis finish," akunya sambil mengedipkan mata.

Lisa mengangguk sambil melamun, pandangannya menyapu wajah ceria dan polos para penyewa pondok, tiba-tiba matanya tertumbuk pada salah satu wajah yang rasanya tak asing dan wajah itu sama sekali tidak ceria. Tiba-tiba, tanpa alasan tertentu, ia teringat pada malam pertemuannya dengan Mingyu, malam yang lembab seperti sekarang, ketika dua orang perampok menodongkan pistol ke arah Mingyu.

"Grandmama," katanya sambil menoleh ke arah sang nenek. "Siapa pria pendek di sebelah sana, yang memakai kemeja hitam dan sapu tangan merah di lehernya?"

Mata sang nenek mengikuti arah tatapan Lisa lalu ia mengangkat bahu. "Aku yakin aku tidak tahu siapa dia," kata wanita itu tegas, "Aku lebih banyak melihat para penyewa pondok hari ini daripada yang pernah kulihat selama tiga puluh tahun tinggal di estat ini, tidak." imbuhnya sedikit enggan, "berarti aku merasa pestamu bukan gagasan yang hebat, Sayang. Banyak hal telah berubah di Inggris belakangan ini, dan meskipun aku merasa tidak perlu akrab dengan orang-orang yang melayani kita, akhir-akhir ini lebih bijaksana bila pemilik lahan memiliki hubungan baik dengan penyewanya. Ada orang yang mendengar mereka menuntut meminta lebih dan lebih lagi lalu situasi menjadi cukup panas.."

Perhatian Lisa mengembara, pikirannya kembali tertuju pada malam pertemuannya dengan Mingyu. Dengan gugup ia melihat sekeliling lapangan terbuka itu, mencari pria berkemeja hitam, yang sepertinya telah menghilang. Beberapa menit kemudian, tanpa menyadari apa yang dilakukannya, ia mulai mengabsen orang-orang yang dia sayangi, memastikan apakah mereka dengan aman terlihat olehnya. Ia mencari Yugyeom tapi tak dapat menemukannya, lalu dengan cemas ia mencari Mingyu dan melihat pria itu berdiri di pinggir hutan, bahunya bersandar santai pada sebatang pohon sambil minum bir dan menonton perayaan.

Mingyu melihat Lisa melihat ke arahnya dan dia mengangguk sedikit. Senyum manis ragu-ragu yang ditunjukkan wanita itu membuat hatinya pilu karena penuh keraguan dan penyesalan. Ia mengangkat gelasnya ke arah Lisa dalam gerakan bersulang namun tiba-tiba membeku ketika mendengar suara yang rasanya tak asing di kegelapan di belakangnya.

"Di sini ada pistol yang diarahkan langsung ke kepalamu, My Lord, dan satu lagi ke arah istrimu di sana. Kalau kau bersuara rekanku akan menembak kepala istrimu sampai pecah. Sekarang, berjalan menyamping ke arah suaraku, di sini di dalam hutan."

Tubuh Mingyu menegang lalu perlahan-lahan menurunkan mug birnya. Rasa lega, bukan takut, mengaliri seluruh urat nadinya ketika ia membalikkan badan ke arah suara. Ia sudah siap menghadapi saat yang ditunggu-tunggu ini, berhadapan dengan musuh tak dikenal, sudah tak sabar lagi. Tak sedikit pun ia percaya Lisa berada dalam bahaya, itu hanyalah muslihat agar ia menurut.

Ia berjalan dua langkah dan masuk ke dalam kegelapan hutan yang lebat, lalu ketika berjalan selangkah lagi ia melihat kilau berbahaya sepucuk pistol, "Kita mau kemana?" tanyanya kepada bayangan yang memegang pistol.

"Ke sebuah pondok nyaman di ujung jalan setapak ini. Sekarang, berdiri di depanku dan mulai berjalan."

Sekarang tubuhnya siaga bagai pegas yang ditarik, Mingyu berjalan selangkah lagi ke jalan setapak, tangan kanannya memegang mug bir erat-erat. "Apa yang harus ku lakukan dengan ini?" tanyanya pura-pura bodoh, sambil menoleh sedikit dan mengangkat tangan kanannya.

Penyamun itu melirik bedan di tangan Mingyu selama sedetik, namun itu sudah cukup bagi Mingyu. Ia menyiramkan isi mug itu ke mata si penyamun dan pada saat yang bersamaan mengayunkan wadah minumannya, menghantamkannya ke rahang dan pelipis penjahat itu sehingga pria yang terkejut itu tersungkur. Mingyu membungkuk untuk merampas pistol si penyamun dari tanah, mencengkeram bahu pria yang terkejut itu, lalu menariknya hingga berdiri. "Ayo jalan, bedebah! Kita akan jalan-jalan seperti maumu."

Penyamun itu terhuyung dan Mingyu mendorongnya dengan tak sabar sehingga pria itu tertatih-tatuh berjalan di sepanjang jalan setapak, sementara Mingyu berjalan di belakangnya. Ketika memasukkan tangan ke dalam kantongnya, Mingyu mencari sebuah pistol kecil yang selalu dibawanya sejak ia kembali ke Inggris. Menyadari pasti pistol itu terjatuh saat ia membungkuk di atas penodongnya, Mingyu mengeratkan pegangannya pada pistol penggantinya dan mengikuti tawanan yang tak beruntung itu menyusuri jalan setapak.

Lima menit kemudian bayangan kelam pondok tua penebang kayu menjulang di ujung jalan. "Ada berapa orang di dalam?" tanya Mingyu, meskipun tidak tampak cahaya lampu dari kisi-kisi jendela yang tirainya tertutup rapat untuk menunjukkan bahwa ada seseorang di dalam sana, menunggu.

"Tidak ada siapa-siapa," gerutu si penyamun, lalu ia terkesiap ketika merasakan sentuhan moncong pistol yang dingin di kepalanya. "Satu atau dua. Aku tak tahu," ralatnya buru-buru.

Suara Mingyu dingin mematikan. "Bila kita sampai di pintu, katakan pada mereka kau berhasil menangkapku dan suruh mereka menyalakan lampu. Kalau kau tidak mengatakan seperti itu, akan ku tembak kepalamu." Untuk menekankan kata-katanya ia menekankan moncong pistol lebih keras ke kepala pria yang ketakutan itu.

"Baik," kata pria itu takut, tersandung sedikit ketika buru-buru menapaki undakan karena ingin lekas-lekas menjauh dari pistol. "Aku berhasil menangkapnya!" ia berteriak pelan dan ketakutan ketika menendang pintu hingga terbuka. Pintu itu membuka dengan suara berderit karena engselnya telah berkarat. "Nyalakan lampu, gelap sekali di sini," tambahnya patuh sambil berdiri di ambang pintu.

Terdengar suara korek api digesek, sesosok bayangan membungkuk di atas lentera, cahaya berkelip-kelip dalam satu gerakan cepat, Mingyu memukul kepala penodongnya dengan gagang pistol dan pria itu tergeletak di lantai, tak sadarkan diri, lalu ia meluruskan tangannya, mengarahkan pistolnya kepada sosok terkejut yang sedang membungkuk di atas lentera menyala itu.

Wajah yang balas menatapnya dalam cahaya lentera nyaris membuat Mingyu terduduk karena shock dan sakit hati.

"Mingyu!"

Something Wonderful (GYULIS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang