37

158 16 1
                                    

Sambil berdiri di depan jendela memperhatikan Lisa  berderap di sepanjang jalan masuk dalam pakaian berkuda warna biru cerah, yugyeom melirik neneknya yang berada di sebelahnya. "Sungguh menakjubkan," ujarnya datar. "Dalam satu tahun dia sudah mekar menjadi wanita yang sangat cantik."

"Sebenarnya tidak terlalu menakjubkan," kata sang nenek dengan setia. "Dia memang memiliki tulang yang bagus serta sosok yang molek, dia hanya terlalu kurus dan terlalu muda. Tubuhnya belum berisi, aku sendiri juga agak lambat berkembang."

"Benarkah?" kata Yugyeom sambil menyeringai.

"Benar," jawab wanita itu tegas, lalu ia mendadak sendu. "Dia masih membawakan bunga untuk diletakkan di prasasti Mingyu setiap hari. Musim dingin yang lalu, ku pikir aku akan menangis ketika melihatnya mengarungi salju sambil membawa bunga-bunga dari rumah kaca."

"Aku tahu," kata Yugyeom sendu. Matanya kembali melihat ke jendela sementara Lisa melambai ke arah mereka dan menyerahkan Ruu kepada pengurus kuda. Rambutnya yang mengilat dan kusut karena tertiup angin sekarang sudah panjang dan bergelombang sampai ke punggung. Kulitnya berwarna pink, dan bulu matanya yang lebat menaungi matanya yang besar dan bercahaya seperti batu zamrud dalam gelap.

Mingyu pernah mengira dia anak laki-laki, tapi sekarang pakaian berkuda warna biru cerah itu memperlihatkan tubuh menggiurkan seorang wanita dengan lekuk-lekuk indah di tempat yang tepat. Mata Yugyeom mengikuti ayunan lembut pinggul Lisa ketika menapaki undakan depan, mengagumi bagaimana kakinya yang panjang melangkah anggun. Segala hal tentang wanita itu sekarang bisa menarik perhatian pria.

"Beberapa minggu lagi, ketika dia melakukan debutnya," kata Yugyeom menyuarakan pikirannya, "Kita terpaksa menghalau para penggemarnya dengan tongkat dan pengamanan ekstra."

***

"Yugyeom," panggil sang nenek sambil berjalan mondar-mandir dengan gugup di sepanjang ruang duduk dalam balutan gaun satin keperakannya. "Menurutmu apakah aku melakukan kesalahan karena tidak mempekerjakan wanita yang lebih muda untuk mengajari Lisa tata krama pergaulan kalangan atas?"

Yugyeom membalikkan badan dari cermin tempat ia merapikan lipatan rumit dasi putih bersihnya, lalu tersenyum penuh simpati melihat kepanikan neneknya menjelang saat-saat terakhir debut pertama Lisa malam ini. "Sekarang sudah terlambat untuk mengubahnya."

"Well, memangnya siapa lagi yang lebih bagus dari pada aku dalam mengerjakan tata krama?" Sang nenek mengingatkan Yugyeom dengan blak-blakan, membalik pendapatnya yang pertama, "Aku dianggap panutan yang baik untuk tata krama di kalangan bangsawan, ya kan?"

"Benar sekali," jawab Yugyeom, urung mengingakan neneknya bahwa dia seharusnya tidak mengajarkan Lisa untuk meniru tingkah laku wanita berusia tujuh puluh tahun.

"Aku tak bisa menjalani ini," kata sang nenek tiba-tiba, lalu duduk melesak di kursinya, ekspresinya benar-benar cemas.

Yugyeom terkekeh melihat neneknya tiba-tiba tampak ragu, dan wanita itu memelototi cucunya. "kau tidak akan tertawa beberapa jam lagi," ia meramalkan dengan kesal. "Malam ini, aku akan berusaha membujuk kalangan bangsawan teratas agar menerima wanita yang tak punya kekayaan, koneksi keluarga, atau pun keturunan yang bisa menjamin dia. Aku memperkirakan akan terjadi bencana! Dan aku akan disorot masyarakat karena dianggap menipu."

Yugyeom mendekati wanita yang sedang cemas itu. Wanita yang memiliki mata menyala bagai kilat, lidah setajam silet, dan dingin bagai gunung es, yang ditakuti oleh semua masyarakat golongan atas dan keluarganya, kecuali Mingyu, selama lima dekade. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Yugyeom secara spontan mencium dahi wanita itu. "Tak kan ada yang berani bermusuhan denganmu karena menghina Lisa, meskipun mereka mencurigai asal-usulnya. Kau pasti bisa melakukan tugas ini dengan baik. Wanita yang lemah mungkin akan gagal, tapi kau tidak, Grandmama. Kau wanita yang sangat berpengaruh dan kuat."

Sang nenek mencerna pernyataan itu sejenak lalu perlahan-lahan memiringkan kepalanya yang berambut perak untuk mengangguk penuh wibawa, "Kau sepenuhnya benar, tentu."

"Tentu," kata Yugyeom, menyembunyikan senyumnya. "Dan kau tidak perlu khawatir Lisa akan mengungkap latar belakangnya sendiri."

"Aku lebih cemas dia mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya daripada latar belakangnya. Aku tak tahu apa yang dipikirkan kakeknya waktu mencekoki kepala anak itu dengan segala omong kosong dari buku itu. Kau tahu," aku wanita itu dengan cemas, "aku benar-benar berharap dia menjalani musim ini dengan indah, dikagumi orang karena dirinya sendiri, lalu berhasil mendapatkan jodoh yang baik. Andai saja Joshua tidak melamar gadis mungil itu minggu lalu, Joshua adalah satu-satunya bangsawan bermartabat di Inggris yang belum menikah. Dan itu berarti Lisa harus puas mendapatkan bangsawan tak terkenal atau yang lebih rendah lagi, asal memiliki latar belakang yang baik."

"Kalau itu harapanmu, Grandmama, sepertinya kau akan kecewa," kata Yugyeom sambil mendesah. "Lisa tidak berminat pada siapa pun dalam musim ini ataupun ingin dikagumi oleh pria kota mana pun."

"Jangan konyol. Dia sudah berusaha, belajar, dan menunggu-nunggu bulan ini tiba!"

"Tapi bukan karena alasan yang kau pikirkan," jawab Yugyeom tenang. "Dia berada di sini karena kau meyakinkannya bahwa Mingyu ingin dia mendapatkan tempat yang layak di kalangan bangsawan sebagai istrinya. Selama beberapa bulan ini dia bekerja keras hanya demi satu alasan, bahwa dia pantas mendapat kehormatan itu. Dia tidak berminat untuk menikah lagi. Dia mengatakannya padaku tadi malam. Ku rasa dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa Mingyu mencintainya, dan dia benar-benar bertekad akan mengorbankan diri demi suaminya yang telah meninggal."

"Ya ampun!" kata sang nenek, terpengarah. "Usianya baru sembilan belas tahun! Sudah pasti dia harus menikah. Apa katamu padanya?"

"Tidak ada," jawab Yugyeom jail. "Bagaimana aku bisa bilang bahwa agar bisa diterima oleh lingkungan pergaulan Mingyu dia harus belajar merayu dan selingkuh, bukannya mempelajari percakapan di ruang duduk dan Peerage karangan Debrett's itu."

"Pergilah kau, Yugyeom!" desah sang nenek. "Kau membuatku cemas. Coba kau pergi dan lihat apa yang membuat Lisa lama. Sudah saatnya kita berangkat."

Di koridor depan kamar tidurnya, Lisa berdiri di depan lukisan kecil dengan foto Mingyu yang ditemukannya di ruang terbengkalai ketika mereka pertama kali tiba di London. Dan ia meminta lukisan itu digantung di situ, tempat ia dapat melihatnya setiap kali melewati koridor. Lukisan itu dibuat dua tahun lalu. Pada potret itu Mingyu menekuk salah satu kakinya ke atas, pergelangan tangannya dengan santai di letakkan di atas lutut, menatap ke arah pelukisnya. Lisa suka lukisan yang tampak hidup dan tidak kaku itu, namun ekspresi Mingyu lah yang menariknya bagai magnet dan jantungnya berdetak cepat, karena dalam lukisan itu, ekspresi Mingyu mirip ekspresi pria itu ketika ingin menciumnya. Mata kelabunya tampak sayu, paham, dan seulas senyum malas penuh pertimbangan tersungging di bibirnya yang siap bergerak. Lisa mengeluarkan tangan, menyentuh bibir itu dengan jarinya yang gemetar, "Malam ini untuk kita, suamiku," bisiknya. "Kau tidak akan malu beristrikan aku. Aku janji."

Dari sudut matanya ia melihat Yugyeom datang menuju ke arahnya dan ia cepat-cepat menarik tangannya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Mingyu yang menawan itu, ia berkata, "Pelukis yang melukis foto ini sangat berbakat, tapi aku tak bisa membaca namanya. Siapa dia?"

"Jung Una," jawab Yugyeom ketus.

Something Wonderful (GYULIS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang