93

212 20 2
                                    

Jantungnya berdebar keras karena takut, ia berlutut di samping Lisa, membuka kemejanya lalu merobeknya menjadi potongan panjang, membebat luka mengerikan di kepala wanita itu. Masih separuh jalan, kain putih itu telah basah oleh darah, dan wajah Lisa dengan cepat menjadi seputih kapas.

"Oh Tuhan!" bisiknya. "Oh Tuhan!" Ia sudah pernah melihat orang mati dalam pertempuran yang tak terhitung jumlahnya, ia tahu tanda-tanda luka parah yang tak tertolong, dan meskipun otaknya tahu Lisa tak akan selamat, Mingyu menarik wanita itu di dadanya, ia berlari menyusuri jalan setapak, jantungnya berdebar keras sambil berulang kali berkata dalam hati, "jangan mati..... jangan mati..... jangan mati...."

Dadanya terasa sesak ketika ia keluar ke lapangan, membawa tubuh tak berdaya kekasihnya. Dalam seumur hidupnya, kali ini Mingyu menangis. Air mata ketakutan mengalir tanpa ia sadari. Penyesalan yang sangat besar menghantam dadanya, menyesakkan. Tak menyadari wajah-wajah terkejut para penyewa pondok yang berdiri berkelompok. Mereka dalam diam memperhatikan Mingyu membaringkan Lisa dengan lembut di kereta yang diminta Yugyeom untuk diparkir di pinggir hutan.

Seorang bidan tua, melihat perban bersimbah darah di sekeliling kepala Lisa serta kulitnya yang pucat ketika Mingyu berlari mengitari kereta untuk naik ke kursi kendali, wanita itu cepat-cepat memeriksa denyut nadi Lisa. Ketika wanita itu membalikkan badan ke arah para penyewa pondok yang berkumpul di sekeliling kereta, dengan sedih ia menggelengkan kepala.

Para wanita yang telah dibantu Lisa dan menjadi sahabatnya sejak setahun yang lalu menatap dengan penuh kasih ke tubuhnya yang terbaring diam di kereta dan ketika kereta Mingyu bergerak pergi, suara isak tangis mulai memenuhi lapangan itu. Baru sepuluh menit yang lalu, lapangan itu dipenuhi suasana riang yang dibawa lisa kepada mereka.

***

Ekspresi kalah terpampang di wajah sang dokter keluarga ketika pria itu berjalan masuk ke koridor di luar kamar tidur Lisa dan menutup pintu di belakangnya. Otak Mingyu menjerit pilu.

"Maafkan saya," ujar pria itu lirih kepada kerumunan orang yang menunggu di koridor. "Tak ada yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkannya. Ketika saya tiba di sini, dia sudah tak punya harapan dan tak dapat tertolong."

Sang nenek menekankan satu tangan ke bibir lalu membalikkan badan untuk masuk ke dalam pelukan Yugyeom, menangis. Sementara Jisoo masuk ke pelukan suaminya. Tangan Jeon Wonwoo menepuk bahu Mingyu memberi penghiburan lalu ia membawa istrinya yang terisak-isak menuruni tangga untuk bergabung dengan Seungkwan, Joshua dan Vernon.

Sang dokter keluarga menoleh ke arah Mingyu lalu melanjutkan, "Anda bisa masuk sekarang dan mengucapkan selamat tinggal, tapi dia tidak akan mendengar. Dia sedang berada dalam kondisi koma. Dalam beberapa menit lagi, paling lama beberapa jam lagi, dia akan meninggal dengan tenang." Melihat nestapa pada ekspresi wajah Mingyu Kim, sang dokter dengan lembut menambahkan, "Dia tidak akan merasa sakit, Mingyu, saya berjanji."

Tenggorokan Mingyu naik-turun, menelan gumpalan asing yang berusaha ia telan sekuatnya. Ia menatap marah kepada sang dokter yang tak bersalah dan cepat-cepat masuk ke kamar tidur Lisa.

Di samping tempat tidur berkanopi itu lilin-lilin berkelip-kelip, Lisa berbaring diam dan pucat bagai mayat di atas bantal-bantal satin, napasnya begitu pendek sehingga nyaris tak terasa.

Mingyu menelan kembali gumpalan di tenggorokannya seraya duduk di kursi di samping tempat tidur dan menatap wajah yang dicintainya itu, ingin mengingat setiap lekuknya. Lisa memiliki kulit yang sangat halus, pikir Mingyu pilu, dan bulu mata yang sangat lentik, bulu mata itu tampak bagai kipas hitam yang tebal di atas pipinya... Wanita itu tidak bernapas!

"Tidak, jangan mati!" pekiknya parau sambil memegang tangan Lisa yang lemah, dengan panik mencari denyut nadinya. "jangan mati!" ia merasakan denyut itu, lemah dan samar tapi ada, dan tiba-tiba dia tidak dapat berhenti bicara.

"Jangan tinggalkan aku, Lisa," ia memohon sambil memeluknya erat-erat. "Ya Tuhan, jangan tinggalkan aku! Ada ribuan hal yang ingin ku katakan padamu, tempat-tempat yang ingin ku tunjukkan kepadamu. Tapi aku tak dapat melakukannya kalau kau pergi. Lisa, ku mohon, sayangku... jangan tinggalkan aku."

"Dengarkan kata-kataku," desak Mingyu, entah mengapa percaya wanita itu akan tetap hidup kalau mengerti betapa dirinya sangat berarti bagi Mingyu. "Coba kau dengar bagaimana hidupku sebelum kau menyerbu masuk sambil memakai baju zirah itu.. Hidupku hampa, tak berwarna, lalu kau muncul, dan tiba-tiba aku merasakan perasaan yang ku pikir tak pernah ada, dan aku melihat hal-hal yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Kau percaya, sayang? Tapi itulah yang sebenarnya, dan aku bisa membuktikannya." Suaranya yang dalam parau karena menahan tangis, Mingyu membeberkan bukti-buktinya, "Bunga-bunga di padang rumput itu berwarna biru," ujarnya lirih. "Bunga yang di sungai berwarna putih. Dan mawar yang di lengkungan, di dekat paviliun, berwana merah."

Ia mengangkat tangan Lisa ke wajahnya lalu mengeluskan tangan itu ke pipinya. "Bukan hanya itu yang ku perhatikan. Aku tahu bahwa lapangan yang di dekat paviliun, tempat yang ada batu prasasti bertuliskan namaku, tampak seperti tempat kita bertanding pedang setahun yang lalu. Oh, dan satu lagi, Sayang, sesuatu yang harus ku katakan padamu, aku cinta padamu, Lisa."

Air mata membuat suara Mingyu tercekat sehingga ia hanya bisa berbisik pilu. "Aku cinta padamu, dan kalau kau mati, aku takkan dapat mengatakannya kepadamu."

Didorong oleh amarah dan putus asa, Mingyu mencengkeram tangan Lisa erat-erat lalu seketika berubah, dari memohon menjadi mengancam. "Lisa, jangan coba meninggalkanku! Kalau kau meninggalkanku, aku akan mengeluarkan Boo dan istrinya sambil menjewer kupingnya yang tuli itu! Sumpah, aku akan melakukannya. Dan aku tak kan memberikan referensi. Menjewer kupingnya, kau dengar aku? Lalu setelah itu aku akan menendang Boo. Aku akan membuat Jennie menjadi wanita simpananku lagi. Dia pasti senang mengisi posisimu sebagai nyonya Kim muda."

Menit-menit berganti jam, lalu jam demi jam berlalu dan Mingyu masih terus berbicara, tanpa sadar berubah-ubah dari menangis dan memohon menjadi mengancam lalu menangis lagi, dan ketika harapannya mulai pupus, ia bercanda, "Coba pikirkan jiwaku yang fana ini, sayangku. Jiwaku gelap, bila kau tak ada di sini untuk membantuku mencari jalan yang terang dan lurus, aku yakin aku akan kembali ke kebiasaan lamaku."

Ia menunggu, mendengarkan, memperhatikan tangan Lisa yang lemah itu, Mingyu memegang tangannya sementara ia berusaha mengalirkan kekuatannya ke tubuh wanita itu, lalu tiba-tiba, tekad dan harapan yang membuatnya berbicara tanpa henti tadi runtuh. Kekecewaan meliputi hatinya, mencekiknya, dan air mata menggenangi matanya. Ia memeluk tubuh Lisa yang lemah dan menempelkan pipinya pada pipi wanita itu, bahunya yang lebar bergetar karena isak tangis. "Oh, Lisa.." tangisnya sambil mengayun tubuh Lisa seperti bayi, "bagaimana aku bisa terus hidup tanpa dirimu? Bawa aku bersamamu," bisiknya. "Aku ingin pergi bersamamu..."

Lalu ia merasakan sesuatu, suatu kata yang diucapkan di pipinya.

Napas Mingyu seakan berhenti dan kepalanya tersentak ke belakang, matanya dengan panik memperhatikan wajah Lisa sambil menurunkan tubuhnya ke atas bantal. "Lisa?" katanya pilu sambil membungkuk di atasnya, dan tepat ketika ia mengira dirinya sedang mengkhayal, kelopak mata wanita itu bergetar, bibirnya yang pucat membuka, berusaha mengatakan sesuatu.

"Katakan padaku, Sayang," katanya putus asa, mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat ke bibir wanita itu. "Ku mohon, katakan sesuatu, sayangku."

Lisa menelan ludah, dan ketika berbicara, suaranya begitu lirih sehingga nyaris tak terdengar. "Apa sayang?" desak Mingyu, tak mengerti apa yang dikatakannya.

Lisa sekali lagi berbisik, dan kali ini mata Mingyu membelalak ketika ia akhirnya mengerti. Ia menatap tangan Lisa yang dipegangnya erat-erat lalu bahunya mulai berguncang ketika ia tertawa. Mula-mula tawannya bergemuruh pelan di dalam dada, lalu tawa itu meledak keras sehingga terdengar sampai keluar kamar dan membuat sang nenek, dokter dan Yugyeom berlari masuk ke kamar. Mengira duka Mingyu telah membuat otak pria itu menjadi tidak waras.

"Yugyeom," kata Mingyu dengan senyum bergetar, ia menggenggam tangan Lisa serta tersenyum pada wanita itu. "Lisa merasa," ujarnya lagi sementara bahunya mulai bergetar karena menahan tawa, "Badan Jennie terlalu gendut."

***

Something Wonderful (GYULIS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang