Namanya Bulan Narumi, gadis 22 tahun yang baru saja menyandang istri sah seorang Janu. Mereka menikah lima hari lalu dengan pesta pernikahan cukup meriah dan dilaksanakan di sebuah ballroom hotel ternama.
Kini, Janu dan Narumi sedang berada di kediaman orang tua Janu. Lelaki itu akan pergi dinas beberapa hari ke luar kota. Untuk itu, ia menitipkan Narumi pada sang ibu yang tampak senang menyambut menantunya. Maklum, Malini hanya memiliki Janu selama ini sebagai anak tunggal dari suaminya terdahulu.
"Berapa lama kamu di sana, Jan?" tanya sang ibu yang sejak tadi mengelus pundak Narumi.
"Semingguan, Ma. Padahal, kita baru lima hari nikah, tapi bagaimana lagi, ya, Na, aku harus menjalankan tugas," sesal Janu. Dia menatap sedih ke arah sang istri. Namun, itu semua hanya kepura-puraan semata. Dinas luar kota pun hanya alasan. Ada banyak hal yang tidak Narumi ketahui tentang suaminya itu.
"Gak papa, Mas. Aku ngerti, kok." Narumi tersenyum kecil menenangkan suaminya.
"Gak papa, Jan. Narumi di sini dulu nemenin mama. Mama juga libur dua hari ini," sela Malini. Wanita pertengahan empat puluhan yang masih cantik dan awet muda.
Malini seorang wanita karir. Di usianya yang tidak muda lagi, dia tetap bekerja sebagai menejer di sebuah perusahaan perbankan. Padahal, suaminya, Rajendra seorang pengusaha sukses. Namun, Malini tidak ingin bergantung dengan suaminya tersebut. Karena dia bekerja di sana jauh sebelum menikah dengan Rajendra.
Sekedar informasi, Rajendra adalah ayah tiri Janu. Usia lelaki itu dengan Malini terpaut 10 tahun. Lebih tua sang istri. Rajendra menikahi Malini tiga tahun lalu.
"Bagus, deh. Jadi, aku tidak perlu khawatir. Om Jendra mana, Ma?" tanya Janu karena sejak tadi tak melihat keberadaan ayah tirinya. Alih-alih memanggil 'papa', Janu lebih nyaman memanggil 'om' ada Jendra. Alasannya klasik, karena Jendra bukan ayah kandungnya. Apalagi usianya dengan Jendra hanya berbeda beberapa tahun saja.
"Belum pulang. Lagi banyak kerjaan di kantornya karena ada proyek besar. Tadi dia sudah menghubungi mama akan pulang terlambat." Walau terkesan cuek, Rajendra akan selalu memberi kabar pada sang istri.
"Ya, udah, kalo gitu aku berangkat, Ma, Na. Jaga istri aku, ya, Ma," titip Janu. Tak lupa ia mengecup singkat kening sang istri.
Tadinya, Narumi ingin mengantar ke bandara, tetapi Janu menolak dengan alasan dia takut istrinya kelelahan. Padahal, Narumi juga ingin mengantar ke sana, sampai pesawat yang ditumpangi suaminya lepas landas. Wanita itu tidak tahu saja, Janu sudah janjian dengan wanita lain untuk berangkat bersama ke kota tujuannya.
Tepat ketika Janu memasuki mobil, Rajendra baru pulang. Pria itu sempat mengangguk singkat saat sang anak tiri membunyikan klaksonnya.
"Pa, baru pulang?" Narumi takut-takut menyapa Rajendra. Dia baru saja mengantar kepergian Janu. Aura dingin yang menguar dari lelaki itu membuat nyali Narumi seketika menciut.
"Humm, ke mana Janu?" tanya Jendra datar.
"Ke luar kota ada kerjaan."
"Oh. Masuklah. Angin malam tidak baik untuk tubuh."
Narumi mengangguk kaku. Dia segera melangkah memasuki rumah. Di sisi lain, tatapan Rajendra tidak lepas menatap sang menantu tiri yang terlihat sangat kecil. Ya, Narumi itu kecil. Walau umurnya 22 tahun, tetapi tampang gadis itu layaknya bocah SMP yang baru pubertas.
"Tutup gerbangnya, Pak," titah Rajendra pada sopirnya yang sejak tadi berdiri di samping mobil.
Setelah itu, lelaki yang mengenakan celana dasar berwarna hitam dan kemeja abu-abunya tanpa jas itu melangkah masuk ke rumah. Dia terlihat lelah karena harus menghabiskan waktu sepanjang hari berhadapan dengan laptop dan orang-orang penting. Dia butuh pelampiasan saat ini.
*
Narumi terbangun di tengah malam. Ia memegangi kerongkongannya yang terasa kering. Memastikan jam digital di nakas, masih menunjukkan pukul 01.00 dinihari. Berarti, ia baru tidur beberapa jam karena diajak mengobrol banyak hal dengan Malini.
Narumi beranjak dari ranjangnya. Dia harus membasahi kerongkongan dengan air dingin dari kulkas. Kebiasaannya sejak dulu yang harus minum air dingin baru bisa tidur lagi.
Membuka pintu kamar, seketika gelap menyambut Narumi. Lampu utama telah padam. Ia menuruni tangga perlahan karena hanya mengandalkan cahaya temaram dari lampu teras.
Tiba di lantai bawah, Narumi menajamkan pendengaran karena suara aneh. Bukan suara seram, tetapi suara desahan.
"Faster! Oh! Jenh!" ucap suara yang sangat Narumi kenal.
"Malini! Ahh!" sambung suara berat dan serak milik Rajendra.
Narumi bukan anak kecil lagi. Dia tahu suara apa itu. Apalagi keadaan yang sepi membuatnya makin jelas terdengar. Suara itu berasal dari kamar sang mama mertua tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.
"Hufft! Aku haus, oke!" Narumi meyakinkan diri untuk melanjutkan tujuan utamanya, yaitu kulkas dekat dapur. Dia sampai harus menutup kedua telinganya agar tidak mendengar pertarungan Malini dan Rajendra.
Setibanya di dapur, perempuan yang hanya memakai baju tidur satin pendek berwarna pink di atas lutut itu segera meraih gelas dan menuang air dingin dari kulkas. Seketika rasa dingin menjalar membasahi kerongkongan yang terasa sangat kering.
"Huh! Mas Janu! Huhuhu, di rumah Mama bukannya aman gini. Malah denger yang enggak-enggak. Kan, jadi pengin--"
"Pengin apa?"
Deg!
Narumi terpaku mendengar suara berat yang memotong ucapannya. Ia ingin berbalik dan kembali ke kamar, tetapi entah kenapa rasanya sangat berat.
"Hehehe, ga-gak papa, Pa. Aku haus pengin minum," jawab Narumi terbata tanpa melihat lelaki di belakangnya. Kapan lelaki itu selesai? Bukannya tadi masih ber-ah ria dengan sang mertua? Narumi merutuki pikirannya yang ke mana-mana.
Rajendra yang hanya menggunakan training panjang sebagai penutup tubuhnya itu juga hendak minum. Setelah pertempuran panas dengan sang istri, ia juga butuh asupan air putih untuk mendinginkan tubuhnya yang masih panas.
"Kenapa masih di sini, hm?" Rajendra memilih duduk di meja makan sembari mengeluarkan dari saku trainingnya sebungkus rokok ke atas meja.
Narumi berbalik dan tersenyum canggung pada mertuanya. Namun, dia berbalik lagi saat menyadari Rajendra shirtless, menampakkan otot-otot bagian atasnya yang terbentuk sempurna.
'Ya ampun, Mas Januu!' teriak Narumi dalam hati.
"Aku permisi, Pa." Secepat kilat, Narumi berlari ke kamar suaminya di lantai dua. Dia tidak ingin khilaf. Eh.
Sementara, Rajendra hanya menatap datar, lalu dia mulai menghidupkan sebatang rokok putih dan menyelipkan di jari panjangnya
"Menarik!" gumam Rajendra tersenyum miring menatap ke arah Narumi yang sudah memasuki kamarnya.
Di kamar, Narumi gemetaran. Baru kali ini, selama mengenal Rajendra, ia melihat dengan jelas bentuk tubuh mertuanya itu yang selalu terbalut kemeja slimfit.
"Ya ampun, apa yang aku pikirkan coba? Mas Janu, toloong!" rengek Narumi entah pada siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hangatnya Ranjang Ayah Muda
ChickLitNarumi tidak pernah menyangka akan terlibat perasaan dengan mertuanya sendiri. *Cover bikinan temenku @dewandaru Banyak adegan 1821-nya. Bocil jauh-jauh sana!