PART 1

294 28 0
                                    

Malam ini—pukul sembilan malam—mereka sudah harus berangkat ke bandara untuk mengejar jadwal pesawat yang akan berangkat sekitar pukul dua belas malam. Catherine mengambil jaket wool abunya untuk melengkapi atasan lengan panjang putih, celana hitam, dan sneakers putihnya. Sling bag hitamnya juga ia sandangkan lalu segera turun menuju mobil.

Catherine dan keluarganya akan berangkat ke London untuk menghadiri pernikahan salah satu sepupunya yang akan diadakan tiga hari lagi dan sekaligus mengunjungi neneknya. Ia berangkat dengan sepupunya karena Alea membutuhkan bantuan untuk bersiap-siap mengingat ibu dua buntut ini sedikit kerepotan dengan Kyrie dan Kaiden, kedua bayi kembarnya yang masih berumur tujuh bulan itu. Peter—suami Alea—mendadak harus mengurus masalah urgen kantor cabang-nya di luar kota dan akan menyusul besok sore.

Melalui ke hectic-an malam ini bersama ibu dua bayi itu, Catherine akhirnya sampai di titik ia dapat menyendiri dan mendudukkan dirinya di lounge bandara. Keluarganya yang lain juga sibuk dengan aktivitas masing-masing sambil menunggu. Hannah, ibunya sedang mengobrol dengan tante dan omnya — orangtua Alea — lalu adik cowok Catherine sedang sibuk dengan game di HP, bermain dengan para dua sepupu—adik Alea—lainnya. Sedangkan Alea sendiri bersantai dengan tontonan drama di HP karena para bayinya sudah anteng di bawah alam sadar mereka alias tidur nyenyak.

"Iya, halo?" kata Catherine dengan nada malas kepada sang penelpon, karena ia sudah mengetahui maksud dan tujuan manusia di seberang telepon ini.

"Bisakah tidak menghubungiku di waktu libur yang tentram ini," Catherine menjambak ringan rambutnya, mengekspresikan rasa frustasinya.

"Aku harus bilang berapa juta kali lagi, Rory."

"Rory, kalau kamu menghubungiku lagi untuk ini, akan aku santet beneran dirimu."

"Udah dipanggil masuk pesawat," kata Catherine dengan kebohongannya.

"Bye, Rory-ku! I'll see you next month!" Catherine memutuskan sambungan telepon tersebut. Ia menghela nafas sambil melamun menatap jendela di depannya.

Rory, manajer-nya tidak berhenti mem-borbardirnya dengan tawaran casting film rom-com dari salah seorang sutradara yang cukup ternama di industri film. Bukan bermaksud jual mahal, karena ia sendiri sadar ia aktris baru. Catherine pun beruntung lolos casting satu film skala besar yang akan rilis di akhir tahun nanti. Walaupun bukan lolos di peran yang ia inginkan, tapi ia sangat bersyukur dapat ikut berpartisipasi dalam peran pilihan keduanya. Screentime Catherine juga bisa dikatakan lumayan. Dari film itu, Catherine mendapat semakin banyak pengalaman baru dan merasa perlu banyak belajar lagi tentunya.

Masalahnya adalah ia tidak pernah bermain romance sebelumnya, dan ia masih belum percaya diri untuk bermain dalam genre itu saat ini. Sejauh ini Catherine hanya berkutat dalam project film seputar genre non-romance. Walaupun sebenarnya script yang sudah ia baca itu terlihat lumayan menarik, namun Catherine ternyata belum siap membayangkan dirinya bermain romance. Audisi castingnya masih akan dilaksanakan sekitar satu bulan lagi, yang artinya Rory masih memiliki lumayan banyak waktu untuk membuat Catherine mengubah pikirannya. Menurut Rory, Catherine harus mencoba peluang ini karena pria itu sangat yakin ini adalah project yang akan sukses.

Satu hal yang pasti untuk dua minggu ke depan, Catherine tidak ingin memikirkan pekerjaannya ataupun tawaran itu yang membuat Rory selalu menerornya satu minggu terakhir ini. Ia akan fokus untuk menikmati liburannya.

***

"Kyrie, look what i've got for you," kata Catherine yang sekarang mencoba menarik perhatian bayi di pangkuannya dengan mainan kerincingan karena Kyrie terlihat akan menangis ditinggal oleh Alea yang pergi makan.

Mereka sedang duduk di lounge, menghabiskan waktu transit di Dubai. Hari sudah menunjukkan pukul enam pagi dan mereka memiliki waktu sekitar satu setengah jam lagi sebelum penerbangan selanjutnya menuju London.

"Hey, ikan buntal, jangan lihat mama-mu. Biarkan dia makan, dia sudah kewalahan menyuapmu dan Kaiden," ucap Catherine sambil mencapit pipi tembem Kyrie dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, melihat wajah Kyrie yang sedikit gelisah karena kehilangan kehadiran ibunya.

Alea memang sengaja tidak ingin memakai babysitter khusus yang ia bawa kemana-mana karena ia ingin sepenuhnya merawat kedua bayinya sendiri setidaknya hingga mereka berumur satu tahun. Dan lagi ia memiliki Tante Merida dan Om Santo — orangtua Alea — yang selalu memiliki banyak waktu untuk merawat dan bermain dengan kedua cucunya, juga dua asisten rumah tangga yang membantu semua pekerjaan rumah.

"Kamu lihat perutmu ini, semakin buncit. Do nothing and eat a lot, " ejek Catherine yang sekarang menoel perut buncit Kyrie yang menonjol karena posisi duduknya. Kyrie yang sudah terisi energi setelah makan itu pun mulai mengeluarkan ocehannya yang tidak jelas dan beruntutan. Kedua manusia itu terlihat dalam argumen dua arah dengan kemampuan verbal yang sangat berbeda. Jiwa kompetitif Catherine terpacu untuk meladeni bayi aktif itu, tidak peduli dengan umurnya.

"Ouch," Catherine memekik setelah Kyrie dengan tampang polos memukul wajahnya dengan telapak tangan mungilnya itu karena ia menilai Catherine sangat berisik dengan berbagai balasan yang ia berikan. Catherine berpura-pura menangis, dan Kyrie terdiam.

"Berani-beraninya kamu memukul aset auntie yang berharga dan cantik ini. Say sorry tidak," Catherine berpura-pura memasang muka marah. Ia mengambil lengan Kyrie yang terbalut baju lengan panjangnya, lalu mengigitnya pelan sebagai hukuman. Kyrie hanya tersenyum melihat manusia dewasa yang tidak jelas di depannya itu lalu tertawa dan melonjakkan tubuhnya karena senang, membuat Catherine mau tidak mau ikut tersenyum melihatnya.

Catherine memberikan bola kerincingan yang ia punya kepada Kyrie agar bayi itu tetap terhibur sambil tangan kanannya membalas pesan di HP, sedangkan tangan kirinya tetap menjaga Kyrie di pangkuan.

Tanpa disadari mainan kerincingan yang Kyrie pegang itu tiba-tiba sekarang sudah melayang, terlempar oleh Kyrie yang mengayunkannya ke belakang dengan kuat lalu melepasnya. Tekanan yang bayi itu berikan cukup kuat, karena kini bolanya terlempar lumayan jauh.

Ia sedikit kaget dengan kekuatan Kyrie dan sekarang berjalan mendekati posisi kerincingan yang jatuh itu.

Catherine sudah membungkuk, berniat mengambilnya, namun kalah cepat dengan seseorang yang dengan spontan ikut mengambil mainan bayi yang jatuh di hadapannya.

"Oh, terima kas— ih," kata Catherine yang menengadahkan wajahnya, menatap pria yang lebih tinggi dari dirinya. Parasnya tertutup oleh beanie dan masker hitam.

Catherine langsung mengambil kerincingannya, menganggukkan kepala pelan dan pamit, membalikkan tubuhnya untuk kembali ke sofa yang ia duduki tadi.

"Mori?"

Langkah Catherine langsung terhenti. Mori. Sebuah panggilan yang sudah tidak pernah terdengar oleh siapapun kecuali ibunya yang terkadang masih memanggilnya dengan nama panggilan itu. Ayahnya yang selalu menggunakan panggilan itu, dulu. Catherine bisa menghitung dengan 5 jari orang-orang yang memanggilnya Mori. Termasuk satu orang di masa lalunya yang dulu bersikeras memanggilnya dengan nama itu juga.

Catherine menelan ludahnya gugup.

"Catherine Amora Yareli."

Tidak ada keraguan dalam pernyataan nama itu. Pria itu terdengar yakin nama yang ia sebut memang benar milik wanita yang membelakanginya sekarang.

Evan.

MORE THAN YESTERDAY | DDEUNGROMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang