PART 2

200 22 0
                                    

Jika ada satu hal yang membuat jantung Catherine berdegup sangat cepat selain karena ia harus melompat dari lantai tiga untuk sebuah adegan film—melawan rasa takutnya pada ketinggian—itu adalah karena pria di hadapannya sekarang.

Wajah pria itu terlihat jelas dengan masker yang sudah ia lepaskan.

Keduanya beradu pandang sejenak sebelum pria itu memecahkan keheningan, "Kamu mengingatku?"

Seakan tersihir oleh tatapan pria di depannya, Catherine menganggukkan kepalanya pelan. Ia tersenyum tipis, "Hai—, Evan."

Evan Haviero Lee. Tentu aku mengingatmu.

Pandangan Evan yang tadinya menatap Catherine dengan tajam dan serius sekarang sedikit melembut, "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu seperti ini."

Dari segala kemungkinan yang ada di dunia ini, kemungkinan pertemuan kembali seperti ini tidak pernah terbesit. Tidak bagi Catherine.

"Aku juga."

Jika tahu seperti ini, aku akan berangkat dari New York langsung dan bukan Jakarta.

"Apa kabar?" tanya Catherine yang lalu mencoba menelan ludahnya dengan tidak kentara. Ia mencoba merasa rileks dan santai, seakan-akan pertemuan ini tidak membuatnya terkejut sama sekali.

"Aku baik."

"Sangat baik." Evan berkata dengan tegas tanpa melepaskan pandangannya sedikit pun dari wanita di hadapannya.

Oh.

Apa ia tidak akan menanyakan kabarku balik? pikir Catherine sebelum Evan berkata, "Kamu juga terlihat baik, I suppose?"

"Hmm. Kabarku baik," Catherine menganggukkan kepalanya.

Percakapan keduanya kembali berlanjut ketika Catherine menanyakan tujuan pria itu. Destinasi keduanya sama. Pria itu juga menuju London di penerbangan yang sama dengan Catherine. Evan menujukkan Catherine arah ia duduk—setelah Catherine menunjukkan bahwa ia pergi bersama keluarganya—yang tidak jauh dari tempat duduknya tadi, dimana manajer dan ketiga sahabat Evan sedang duduk.

Kyrie yang beberapa saat terlupakan oleh Catherine mulai mengeluarkan suara ocehannya, mengalihkan fokus Evan dan membuatnya mengeluarkan sebuah pertanyaan dengan nada hati-hati, "Dia anakmu?"

"Kamu sudah menikah, Mori?" Jika ada beberapa orang lain yang mendengar nada pria itu ketika ia menanyakan pertanyaan ini, mungkin sebagian dari mereka bisa menyadari kekecewaan berat disana.

Catherine membelalakkan matanya dan menggelengkan kepalanya cepat, seperti anak kecil yang dituduh melakukan sesuatu yang tidak ia perbuat. Evan mengerutkan keningnya, menahan senyum tipisnya melihat reaksi Catherine yang lucu di matanya.

"Ini keponakan-ku. Namanya Kyrie," Catherine menatap Kyrie yang sekarang menatap Evan dengan polos. Evan kali ini membiarkan senyumnya lepas lebih lebar dan mengangkat kedua alisnya, menggoda bayi yang masih tertarik memandangnya.

Siapa yang membiarkan pria ini tumbuh menjadi sangat attractive seperti ini, ya Tuhan. Catherine menggerutu dalam hatinya.

Perempuan yang akhir-akhir ini berubah kepribadian menjadi seseorang yang lebih ekstrovert itu sekarang kurang menunjukkan kemampuan sosialisasinya dan terlihat canggung. Catherine bingung melanjutkan percakapan ini. Basa-basi terkait masa dulu saat mereka satu sekolah pun tidak ingin ia bahas.

Evan baru saja akan mengatakan sesuatu ketika benda dalam kantong celananya berdering. Pria itu tersenyum saat melihat layar HP-nya, membuat sedikit rasa penasaran timbul dalam hati Catherine.

MORE THAN YESTERDAY | DDEUNGROMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang