PART 6

130 19 1
                                    

"Kepalamu tidak apa?" Rory terus menanyakan pertanyaan itu kepada Catherine setiap ada sesuatu mendekati kepalanya. Ia segera mendorong ranting pohon yang sangat landai dan berpotensi menyakiti kepala Catherine.

Sepanjang malam Catherine tidur tengkurap. Ia berpikir benturan itu tidak akan serius, tetapi ternyata memar di kepalanya terasa sakit, bahkan hanya dengan sedikit tekanan.

Dokter Gia—kenalan baik Rory, mengatakan tentu akan memar dan biasanya terasa sakit untuk tiga atau empat hari ke depan bila tertekan. Jika lebih dari itu, Catherine mungkin harus ke dokter. Tapi Gia memastikan tidak apa-apa.

"Aku tidak apa, Rory."

"Artisku tidak boleh tersakiti lagi. Aku sudah gagal menjagamu, Cath. Melihatmu tergeletak tidak berdaya kemarin, seperti kucing kecil—aku tidak sanggup," kata Rory serius dan dramatis.

"Ya, aku lebih baik menahan itu, dari pada menahan malu diperhatikan banyak orang. Teriakanmu menggelegar, Rory,"

"Bahkan aku pikir seharusnya aku memakai toa, agar semua orang benar-benar berhenti. Artisku terhempas tak berdaya karena mereka," Rory tidak mau kalah.

Catherine dan Rory akhirnya tiba di kafe lucu tujuan mereka, tidak begitu jauh dari akomodasi yang diberikan tim produksi film. Sebuah unit apartemen di area Hannam-dong. Mereka memiliki waktu lima hari untuk berjalan-jalan, sebelum syuting film mulai dilakukan.

Percakapan keduanya tidak berhenti selama tiga puluh menit terakhir sejak mereka duduk, dengan banyak topik dan gossip yang mereka bahas. Catherine tidak membicarakan Evan sama sekali kepada Rory. Hanya pertemuan kebetulan tidak disengaja lagi. Seoul memang kota tempat tinggal Evan, tentu ia bisa saja bertemu dengan pria itu. Catherine hanya perlu memastikan hal ini tidak terulang lagi.

Keduanya kini berjalan di sebuah taman setelah makan siang kecil mereka, memasuki sebuah Art Center yang mengapung di atas Sungai Han. Mengelilingi pameran yang ada di dalamnya.

"Shopping?" tanya Rory sembari berjalan keluar, menyebrangi jembatan dari gedung itu menuju taman. 

"Boleh," balas Catherine dengan anggukan dan senyum lebar.

"Aku ingin mampir ke minimart itu sebentar," Rory menunjuk emart yang tidak jauh dari mereka, "—banana milk yang kamu beli kemarin ternyata enak, I crave them now."

"Kamu tidak ikut?" Catherine mendudukkan dirinya di bangku taman, menghadap ke Sungai Han.

Ia menggelengkan kepalanya, "I'll wait here." Rory juga menanyakan apa Catherine ingin menitip sesuatu, namun wanita itu tidak ingin apapun. Entah mengapa firasat Rory sedikit tidak enak, tapi ia tidak menghiraukannya.

***

"Beberapa properti untuk konsep pertama dan kedua nanti sudah aku pesan dua minggu lalu. Senin depan akan mereka kirimkan,"

"Baiklah, berarti tinggal memastikan lokasi ketiga syuting video musik nanti."

"Ya, pemiliknya menghubungiku kemarin, katanya sepertinya bisa. Ia sedang memastikannya kembali."

Pembicaraan kedua orang tersebut kemudian berlanjut dengan topik di luar pekerjaan, sambil menikmati hidangan yang sudah diantar. Keadaan restoran itu tidak terlalu ramai siang ini, dan keduanya mendapatkan meja tepat di samping kaca besar menampilkan pemandangan Sungai Han.

Jun-hee—salah seorang itu—sedang berbincang ketika matanya menangkap sesuatu yang sangat menarik di depannya—di seberang kaca restoran.

Baik sekali, pikirnya.

Ia kembali memotong udangnya. Jun-hee mengerutkan keningnya kali ini, setelah kembali memperhatikan apa yang menarik perhatiannya tadi.

Sedikit gila, tapi sangat baik.

Temannya mengajaknya berbicara kembali, namun sudut matanya tidak lepas dari peristiwa di depannya itu.

Ia sedang mendengar temannya berbicara hingga ia menyadari sesuatu. Satu menit berlalu. Lama sekali.

Kedua matanya membesar, "Tu- tunggu, aku harus keluar sebentar," kata Jun-hee buru-buru dan berlari meninggalkan temannya yang kebingungan itu.

Jun-hee telah mencapai pinggir sungai dengan nafasnya tersenggal-senggal. Melihat tempat kejadian perkara secara langsung dan lebih dekat.

Seorang wanita muda dan paruh baya yang berdiri di jembatan Art Center itu menatap sungai di bawahnya dengan sangat cemas. Mereka tampaknya bukan lagi mencemaskan barang berharga mereka yang jatuh tadi, tapi wanita yang menolong mereka. Karena sudah hampir dua menit, wanita itu belum juga muncul ke permukaan.

"Arghh, perempuan gila ini," gerutu seseorang tidak jauh dari Jun-hee, membuatnya menoleh dan menghampiri pria itu—yang terlihat ikut khawatir juga.

"Apa yang terjadi? Kamu mengenalnya?" tapi pria berkulit putih itu tidak mengerti dengan bahasa Korea.

"You know her?" Jun-hee mengganti bahasanya. Ia akan berterima kasih pada Hana yang selalu memaksanya belajar bahasa Inggris.

"Oh, you saw her going into the water too? Yes, i know her,"

"Will she be okay?"

"Yeah, she'll be okay. She can dive longer than average people. She's just crazy," balas pria itu, menghela nafasnya pasrah. Aura negatif menguar dari dirinya, seperti ingin marah.

Tapi bagi Jun-hee, momen ini adalah kebahagiaannya. Harapan yang sudah sangat tipis dengan waktu yang hanya tersisa kurang dari satu minggu. Ini adalah jawaban dari doanya setiap hari.

Wanita itu menutup mulutnya yang tersenyum lebar.

MORE THAN YESTERDAY | DDEUNGROMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang