Jawaban Catherine atas pertanyaan Evan mengenai kaum elit hanya dibalas respon singkat tanpa basa-basi lain. Evan selesai dengan tugasnya tidak lama setelah itu dan bagi Catherine, pria itu terlihat lebih serius dan ia tidak tahan dengan keheningan Evan yang mendominasi.
"Aku akan mengantarmu, Mori," kata Evan usai mereka melangkah keluar gedung. Berjalan dengan santai karena suasana di luar sudah sangat sepi. "Dan aku tidak menerima penolakan."
"Aku memang tidak ingin menolak tumpangan gratis," jawab Catherine santai. Ia mengabaikan gengsinya karena ada sesuatu yang juga ingin ia berikan pada Evan. Catherine sudah bertekat, ia harus berani memberi hadiah yang sudah ia beli itu.
Situasi dalam mobil tidak kalah canggung dengan posisi duduk keduanya saling berjauhan dari ujung ke ujung. "Terima kasih sudah menemaniku. Maaf, kalau terasa membosankan."
Catherine menggelengkan kepalanya cepat, "Sama-sama. Pertama, perpustakaan, terutama NYPL tidak membosankan bagiku. Menikmatinya tanpa kunjungan publik adalah keuntungan. Kedua, tidak perlu berpikir seperti itu karena aku memang bersedia menemani kamu kemanapun."
Evan tersenyum dan mengangguk, "Baiklah."
Keduanya kembali membisu dan hanya suara lagu di radio yang terdengar. Pikiran pria itu dipenuhi dengan rasa bersalah akan perkataan bodoh yang ia katakan dulu. Ia tidak ingin meninggalkan Catherine dengan pemahaman yang salah, karena realitanya, terlepas dari ada atau tidaknya Ha-yoon, Evan sangat suka bersama Catherine. Sejak dulu bahkan sekarang.
Di sisi lain, Catherine juga menyesal mengatakan apa yang ia katakan tadi. Seharusnya ia simpan saja sendiri, toh ia akan sangat jarang atau mungkin tidak akan bertemu Evan lagi setelah ini. Dan mengakhiri pertemuan dengan ketegangan seperti ini tidaklah menyenangkan.
Kebisuan mereka berlanjut hingga mobil yang ditumpangi sampai di depan apartemen Catherine. Sebuah deretan pemukiman di Upper West Side. Daerah Manhattan yang menurut Catherine lebih tenang, memiliki rekreasi hijau yang lebih banyak, tidak jauh dari tepi sungai Hudson dan bagian Central Park dari sisi ini menurutnya lebih unggul.
Keduanya turun dari mobil dan Evan menatap gedung di depannya. Sebuah gedung yang tampak antik dan elegan dengan fasad batu coklat dan ukiran, berdiri sejak 1890-an dan menjulang setinggi 15 lantai.
"Kamu tunggu sebentar di sini, ada sesuatu yang ingin aku berikan. Tapi aku harus mengambilnya ke atas dulu," lanjut Catherine. Namun Evan menahan tangannya dan berkata, "Aku ikut. Lagipula agar kamu tidak perlu repot turun lagi." Catherine sedikit ragu namun ia menyetujuinya.
Memasuki gedung itu, tingkat keamanannya gedung pun sangat terjamin. Kemudian, mulai dari interior lobi dan lift, wangi room diffuser yang semerbak, semua terasa ekslusif bagi yang baru pertama kali memasukinya. Catherine menekan tombol lantai 10 di lift, belum menyadari Evan yang kini menatapnya dengan bingung. "You own?"
"Well, technically own by my mom. Warisan dari kakekku sebelum dia meninggal," jelas Catherine.
"Keluarga ibumu tinggal di New York?"
"Not really," Catherine tidak tahu bagaimana menjawabnya karena latar belakang ibunya cukup rumit untuk dijelaskan secara singkat. "Sometimes, back then."
"Sekarang tidak?"
"Sudah lama sejak nenek dan kakekku kembali ke Edinburgh, lalu beberapa lainnya tinggal di London dan ibuku pindah ke Jakarta."
"Jakarta, Indonesia?"
"Iya."
Sebelum Evan bertanya lebih lanjut mengapa Ibu Catherine pindah ke Jakarta, Catherine sudah mengalihkan topik, "Kamu belum pernah melihat ibuku dulu?" Ia berpikir entah mengapa ia bertanya itu. "Pernah, beberapa kali, mungkin dua atau tiga kali," jawab Evan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MORE THAN YESTERDAY | DDEUNGROMI
RomansaCatherine tidak menyangka ia akan bertemu kembali dengan Evan, seseorang yang pernah ia kenal dulu. Dan mungkin seseorang yang pernah ia suka dulu. Kali ini keduanya bukan lah anak SMP lagi. Catherine, seorang aktris yang menjadi sorotan karena kehe...