"Bu, ada Bapak."
Detik itu juga, terdengar suara pantofel yang beradu dengan tangga beralaskan marmer. Amat nyaring, sampai bisa menggetarkan gendang telinga! Sudah berusaha untuk tidak memedulikan, tetapi akhirnya Stella melirik sang tersangka yang sibuk memasangkan arloji ke tangan kanannya. Walaupun orang itu tampak sangat memesona dengan setelan jas yang membalut tubuh atletisnya, tetapi rasa kesal tetap bercokol di hati Stella. Tidak bisakah ia sarapan dengan tenang?
Netra setajam elang itu bergerak, melirik perempuan bertubuh gempal yang berdiri di samping Stella. Mbok Darmi, asisten rumah tangga di sana.
"Saya berangkat," ucapnya dengan nada dingin, seperti biasa.
"Iya, Pak. Hati-hati," jawab Mbok Darmi sambil sedikit membungkuk.
Tanpa bersuara, Stella masih mengikuti pergerakan lelaki itu. Hingga sosoknya hilang di balik tembok ruang tamu, barulah Stella menggerakkan sendok yang sedari tadi digenggamnya.
"Ibu mau minum apa?"
Stella menengadah, menatap wanita paruh baya dengan daster motif bunga itu. "Tolong buatkan jus alpukat, ya, Mbok. Bahannya ada, kan?"
"Ada, Bu." Mbok Darmi mengangguk cepat. "Saya buatkan dulu, ya."
"Makasih."
"Sama-sama, Bu." Mbok Darmi segera melangkah menuju dapur, mempersiapkan keperluan sang tuan rumah di istana itu.
Sedangkan Stella segera membuka mulut, mulai menikmati nasi goreng kemangi yang sudah ia bayangkan kelezatannya sejak semalam. Sekali lagi, ia melirik ambang pintu menuju ruang tamu, di mana sosok dingin itu menghilang. Tanpa menatapnya, tanpa bicara sepatah kata pun, tanpa niat untuk bergabung di meja makan, lelaki itu pergi begitu saja. Seperti sebelum-sebelumnya, seperti biasanya. Beginilah cara mereka memulai hari sebagai suami istri.
Menjadi tidak terlihat bagi orang yang amat dipedulikan adalah salah satu rasa sepi yang mendalam.
Stella sempat amat terluka karena diperlakukan demikian. Ia gencar membuat sarapan setiap pagi di awal pernikahan. Dia hanya bisa menghela napas panjang ketika lelaki itu pergi tanpa sempat menyentuh masakannya. Sedikit pun. Untuk alasan tidak enak hati sekalipun. Lalu, pada akhirnya, Stella akan menangis seraya mempertanyakan mengapa hal semacam itu terjadi dalam hidupnya.
"Ingat, kita hanya suami istri di atas kertas. Saya dan kamu hanya perlu bersikap romantis di depan keluarga. Selebihnya, tidak perlu saling mencampuri urusan satu sama lain, untuk perkara perut sekalipun."
Jika tidak salah mengingat, Stella menangis selama tiga hari berturut-turut karena perkataan kejam suaminya itu. Saat hendak makan, mandi, sampai tidur, tiga kalimat itu terus menjelma menjadi tombak yang mencabik jantung Stella. Tentu saja, ia sempat menyesali keputusannya untuk menerima pernikahan itu. Stella seakan menjerumuskan diri sendiri ke neraka dunia secara sukarela.
Namun, perkataan kejam itu pula yang menyadarkan Stella. Semakin tinggi harapan, akan semakin dalam luka yang akan diderita ketika tidak terpenuhi. Melenyapkan harapan itu akan lebih baik dibandingkan terus menyakiti diri sendiri. Stella memilih untuk tidak lagi bermimpi akan pernikahan yang hangat dan penuh kasih.
Bertahan hidup, hanya itu yang ingin Stella lakukan sekarang.
"Masakannya enak, Mbok. Makasih, ya." Seperti biasa, Stella mengapresiasi karya luar biasa Mbok Darmi.
"Iya, Bu. Sama-sama," jawabnya seraya tersenyum lebar. "Ibu mau berangkat sekarang?"
Stella mengangguk. Ia meraih tote bag hitam berbahan kanvas yang sedari tadi duduk manis di sampingnya. "Iya, taksi yang aku pesan udah di depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pratigya [Tamat]
RomanceStella dan Andreas adalah dua orang asing yang kebetulan tinggal satu atap. Ikatan pernikahan mereka tidak ada artinya, terkhusus bagi Andreas. Mereka hanyalah suami istri di atas kertas. Keduanya hanya bersikap harmonis dan romantis di depan sanak...