"Aku dan Mas Pandhu akan bercerai."
Kakek Sadewa lantas menoleh pada putri sulungnya itu. "Tidak bisakah kamu membiarkan Ayah menikmati makanan ini dulu, Mei? Kamu paling pintar membuat Ayah kehilangan selera makan."
"Aku serius, Yah. Mas Pandhu sendiri yang bilang, dia akan menceraikan aku."
Air muka Kakek Sadewa berubah seketika. Beliau mengalihkan pandangan dari aneka makanan gerobakan yang ada di hadapannya. Padahal beliau sengaja membeli semua itu ketika Stephanie tidak ada, supaya bisa nostalgia ke masa kuliahnya dengan tenang. Karena jika cucunya yang berprofesi sebagai dokter itu tahu, sudah pasti Kakek Sadewa akan diceramahi berjam-jam. Sayang, putri sulungnya justru datang dan mengacaukan kesenangannya.
"Kami bertengkar hebat sebelum aku datang kemari," lanjut Bu Meisya, suaranya berubah parau seketika.
Kakek Sadewa membuang napas panjang. "Apa alasannya? Apa yang sudah kamu lakukan sampai Pandhu kehabisan kesabaran?"
"Kenapa Ayah langsung berpikir bahwa aku yang salah dalam situasi ini?" sergah Bu Meisya.
"Karena memang itu keahlianmu, Meisya. Dari dulu sampai sekarang, kamu paling ahli dalam mengacaukan situasi. Bahkan setelah Andreas dan Tiara tumbuh dewasa pun, tidak banyak yang berubah dari kamu," jelas Kakek Sadewa, tanpa ada keraguan sedikit pun. "Sekali lagi, Ayah tanya, apa alasannya?"
Sembari mengusap air matanya dengan kasar, Bu Meisya menjawab, "Kami sudah tidak sejalan, terutama dalam mengurus anak. Mas Pandhu selalu saja menentang keputusan yang sudah aku buat. Dia tidak pernah setuju dengan jalan yang sudah aku tentukan untuk Andreas dan Tiara."
"Ah ... Pandhu akhirnya sampai di titik muak akan sifat controlling kamu?"
"Ayah!" teriak Bu Meisya, tak terima dengan ucapan ayahnya.
"Andreas dan Tiara sudah dewasa, Meisya. Mereka bukan lagi anak kecil yang perlu kita urus hidupnya, kita muluskan jalannya. Kita hanya perlu memastikan mereka tidak akan salah arah dan menjerumuskan diri ke jurang penyesalan. Hanya sebatas itu."
"Aku ibu mereka, aku yang paling tahu apa yang terbaik untuk Andreas dan Tiara!" bentak Bu Meisya, bersamaan dengan air mata yang mengalir semakin deras.
"Tapi apa kamu pernah bertanya apa yang mereka inginkan dalam hidup ini? Apa kamu pernah bertanya pada putra putri kamu, apa yang bisa membuat mereka bahagia?" sambung Kakek Sadewa dengan cepat. Meskipun putrinya itu sudah menaikkan nada bicara, beliau tetap bersikap tenang. "Kamu bukan Tuhan, Meisya. Kamu tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya ada dalam hati dan pikiran seseorang, anak-anak kamu sekalipun. Dan kamu tidak memiliki hak sebesar itu untuk mengontrol kehidupan Andreas dan Tiara, sekalipun kamu yang melahirkan mereka."
Bu Meisya diam seribu bahasa. Beliau semakin tergugu, menikmati perasaan nyeri yang terus menusuk jantung. Niat hati datang ke sana untuk meminta dukungan sang ayah, tetapi justru disudutkan seperti ini. Dari dulu sampai sekarang, Bu Meisya selalu salah di mata ayahnya. Di saat rumah tangganya di ujung tanduk pun, beliau justru melemparkan kesalahan pada sang putri.
Baiklah, Bu Meisya akui, beliau memang anak yang paling sering menciptakan masalah. Dia tidak pernah bisa menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya. Saat masih muda, beliau sering mengikuti balapan liar, pernah menjadi perundung saat kuliah, juga pernah menghabiskan satu gedung aset sang ayah karena membuang puntung rokok sembarangan. Semua itu masih wajar, bukan? Yang penting tidak sampai menghilangkan nyawa seseorang.
"Kalau memang seperti itu jalan pikiran Ayah, kenapa Ayah tidak memberikan restu untuk hubungan aku dengan Omar dulu? Kenapa Ayah malah menikahkan aku dengan Mas Pandhu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pratigya [Tamat]
RomantizmStella dan Andreas adalah dua orang asing yang kebetulan tinggal satu atap. Ikatan pernikahan mereka tidak ada artinya, terkhusus bagi Andreas. Mereka hanyalah suami istri di atas kertas. Keduanya hanya bersikap harmonis dan romantis di depan sanak...