7. Kenangan

2.9K 389 73
                                    

Dalam kenangan, kita menemukan jejak-jejak kebahagiaan yang pernah kita rasakan. Waktu mungkin berlalu, tetapi kenangan akan selalu abadi dalam hati. Dari segala kenangan itu, yang paling berharga adalah cerita bersama orangtua. Momen sederhana bersama orangtua adalah fondasi dari kebahagiaan yang tak tergantikan.

Fondasi kebahagian milik Stella lebih didominasi oleh momen bersama ayahnya. Sang bunda meninggal ketika Stella berumur 5 tahun karena kanker pankreas. Selama 17 tahun, Stella melihat dengan nyata semanis apa perlakuan ayahnya pada sang ibu sambung. Sekalipun Bu Dona sering membuat Stella terluka-baik karena tindakan atau perkataannya-tetapi Stella selalu senang melihat romantisme keduanya.

Jika besar nanti, Stella ingin menikahi laki-laki seperti ayahnya. Yang tidak sungkan mengungkapkan bahasa cinta, yang selalu memuji pasangannya, yang selalu rela berkorban demi kebahagiaan istrinya.

Sayang seribu sayang, yang menjadi realita justru sebaliknya. Menikah tanpa cinta, diperlakukan seperti tak pernah ada, bahkan disuguhi perpisahan terencana. Andreas Meir Hartanto benar-benar telah menghancurkan angan Stella akan rumah tangga penuh bahagia.

 Andreas Meir Hartanto benar-benar telah menghancurkan angan Stella akan rumah tangga penuh bahagia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perhatian Stella dari jendela rawat inap teralihkan ketika dering ponsel terdengar. Ia melirik benda pipih yang berada di atas meja itu. Sebelum panggilan berakhir, Stella segera menggeser ikon hijau. "Halo, Kak?"

"Akhirnya, kamu bisa dihubungi juga, La." Nada cemas Riga menyapa dari seberang sana. "Kamu kenapa, La? Sakit apa? Aku kaget waktu tahu kamu cuti sakit hari ini."

"Cuma kecapekan aja, Kak," balas Stella. Tidak mungkin ia terus terang akan alasan absensinya hari ini, bukan?

"Gimana keadaannya sekarang?"

"Udah jauh lebih baik. Mungkin besok aku bisa masuk kerja lagi."

"Eh, enggak, enggak. Aku telepon kamu bukan buat minta kamu cepet-cepet kerja. Aku beneran khawatir sama keadaan kamu. Kalau emang belum pulih sepenuhnya, lebih baik kamu istirahat aja dulu."

Stella tersenyum tipis. Rasanya sangat melegakan mengetahui ada seseorang yang benar-benar tulus mengkhawatirkan keadaannya. Tidak seperti lelaki berengsek yang menjadi suami Stella. Entah ke mana perginya Andreas. Sejak pagi, batang hidungnya tidak kelihatan. Jika tidak salah dengar, lelaki itu menerima panggilan telepon dari Levine. Lalu pergi, tanpa permisi.

"Kamu di mana sekarang? Bisa kirimkan lokasi kamu? Aku mau periksa kondisi kamu secara langsung."

"Aku di rumah sakit. Kak Riga gak perlu ke sini, aku beneran baik-baik aja."

"Kamu ada di rumah sakit, tandanya kamu gak baik-baik aja, La," tegas lelaki itu. "Sudah, kirimkan saja lokasinya. Ya? Aku belum bisa tenang sebelum ketemu kamu."

Perhatian Stella teralihkan pada Mbok Darmi yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Air hangatnya sudah siap, Bu."

"Itu siapa?"

Pratigya [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang