"Iya, nanti saya carikan pekerjaan yang lain. Untuk saat ini, Mbak kerja di sana aja dulu."
Andreas keluar dari mobil sedannya lebih dahulu, tidak memedulikan Levine yang baru saja menerima telepon. Dia sangat tahu siapa yang membuat Levine mengusap wajah kasar saat ponselnya berdering tadi. Bahkan, sangat mengenalnya!
"Satu-satu, dong, Mbak. Saya juga sibuk, banyak kerjaan. Saya gak bisa menyelesaikan masalah Mbak Vinny sekaligus. Hidup saya aja udah banyak masalah semenjak jadi sekretarisnya Andreas!"
Sang pemilik nama hanya memutar bola matanya jengah mendengar pengakuan Levine. Andreas juga sangat mengenal sosok sahabatnya itu. Dia adalah raja drama, pecinta gosip, dan bermulut rombeng! Jika bukan karena kinerjanya yang cepat dan tepat, Andreas tidak akan sudi menjadikan radio butut satu itu sebagai sekretarisnya.
"Untuk tempat tinggal juga Mbak Vinny sabar dulu, ya. Nanti saya bicarakan masalah ini dengan Andreas. Saya gak bisa langsung mengabulkan permintaan Mbak Vinny untuk pindah ke apartemen mewah. Saya bukan keturunan konglomerat kayak Andreas," celoteh Levine lagi. "Sudah dulu, ya, Mbak. Nanti saya hubungi mengenai kelanjutan keluhan Mbak Vinny. Saya mau kerja dulu, Andreas panggil saya. Selamat siang!"
Tawa renyah lolos dari bibir Andreas saat mendengar Levine mengeram. Ia tahu pasti sekencang apa urat kepala sahabatnya itu saat ini.
"Dre, gak bisa lo aja yang handle urusan keluarganya Stella? Itung-itung jadi memantu yang berbakti, Dre."
Tanpa memerlukan waktu untuk berpikir, Andreas menjawab, "Tidak, terima kasih."
Levine berdecak keras. "Sumpah! Gue bisa cepet keriputan ngadepin mereka berdua. Semua yang gue sarankan, baik perkara tempat tinggal atau pekerjaan, selalu salah di mata mereka. Udah gitu, pada aji mumpung! Minta dibeliin apartemen, minta ditempatin kerja di perusahaan bergengsi."
"Pokoknya, kamu atur semuanya. Saya tidak keberatan jika harus membelikan mereka apartemen. Untuk pekerjaan, tempatkan Vinny di profesi yang tidak akan membuat rugi pemilik usaha. Dia bukan tipikal orang yang sadar pentingnya kerja keras, selalu mengharapkan uang dengan instan," jawab Andreas, panjang lebar.
"Beneran, nih? Lo mau beliin mereka apartemen? Gue pilih unitnya hari ini, nih."
"Ya, terserah. Yang penting mereka tidak menganggu saya dan Stella sampai ke rumah. Apalagi sampai membuat keributan di kantor seperti waktu itu. Kamu yang akan menanggung akibatnya."
Andreas terus melangkah, memasuki gedung kantor dengan bahu tegapnya. Dirinya tidak memedulikan Levine yang jelas-jelas mengejeknya di belakang, bisa dilihat dari bayangan di pintu masuk. Hanya saja, baru beberapa saat Andreas memasuki area lobi, langkahnya langsung terhenti. Netranya tertuju pada sosok perempuan yang sedang menikmati makan siang di kafetaria.
Stella Kailani.
Biasanya, setiap kali Andreas melihat menghabiskan waktu bersama sesama karyawan Divisi Marketing, Stella akan menjadi orang paling pasif. Dibandingkan bicara, ia lebih banyak melipat bibir seraya menunduk. Tersenyum ketika yang lain tertawa. Buka suara hanya ketika ditanya. Biasanya, perempuan itu terlihat ... menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pratigya [Tamat]
RomanceStella dan Andreas adalah dua orang asing yang kebetulan tinggal satu atap. Ikatan pernikahan mereka tidak ada artinya, terkhusus bagi Andreas. Mereka hanyalah suami istri di atas kertas. Keduanya hanya bersikap harmonis dan romantis di depan sanak...