14. Ultimatum

2.5K 385 89
                                    

"Maaf suasananya jadi kurang menyenangkan, Dre," ujar Pak Pandhu begitu memasuki ruangan penyimpanan anggur. "Mama tidak bilang akan mengundang Audyn. Seandainya tahu, pasti akan Papa larang."

"Tidak apa, Pa."

Pada akhirnya, meskipun Andreas merasa sangat terbebani akan suasana di meja makan tadi, dia hanya bisa pasrah. Sesungguhnya Andreas ingin protes atas tindakan mamanya yang mengundang Audyn begitu saja. Andreas ingin mengeluh akan sikap adik perempuannya yang jauh dari kesan berpendidikan. Namun, lagi, semuanya ia telan bulat-bulat, terus berusaha menjadi anak sulung yang pemaaf dan bisa diandalkan.

"Tapi Papa senang kamu bisa mengambil sikap dalam membela Stella."

Andreas melirik papanya yang masih memilih botol anggur. "Biasanya begitu, kan? Saya selalu membela Stella di depan Mama."

"Sikap kamu tadi berbeda, Dre. Jika biasanya kamu membela Stella dengan cara yang halus, tadi kamu bersikap sangat tegas," ujar Pak Pandhu. Beliau mengalihkan pandangannya untuk sesaat, demi bisa saling pandang dengan Andreas. "Jadi, kapan kalian bisa kasih Papa cucu?"

Kening Andreas lantas berkerut. "Kenapa pembicaraannya jadi ke sana?"

"Memangnya kenapa? Hal yang wajar Papa nanya seperti ini, kan? Kalian sudah menikah cukup lama, masa iya belum ada pembicaraan mengenai momongan?" Setelah sekian lama memilih, akhirnya Pak Pandhu menyambar Torres Mas La Plana, red wine dari Spanyol. "Mama pernah bilang, kamu menginginkan punya anak tapi Stella yang menunda. Benar begitu?"

"Emm ... itu ...."

"Padahal setiap kali Papa tanya, Stella selalu bilang semoga secepatnya."

"Papa sering tanya masalah anak ke Stella?"

Pak Pandhu menggaruk kepala belakangnya. "Lumayan. Papa selalu menyesal, merasa bersalah karena terlalu sering tanya. Tapi, Papa juga selalu tidak bisa menahan diri setiap bertemu Stella. Jujur, Papa ingin secepatnya menggendong bayi kalian."

Andreas diam seribu bahasa. Tentu saja, pasti pertanyaan tentang anak akan sangat membebani Stella. Jangankan merencanakan dengan matang, tidur satu kamar saja tidak pernah. Namun, Stella memilih untuk menanggung beban itu sendirian. Tidak pernah sekali pun dia mengadu pada Andreas mengenai pertanyaan papanya.

Byuuurrr!

Kegaduhan dari halaman belakang mengalihkan atensi Andreas. Dia sempat bertukar pandang dengan sang papa, lalu berlari kencang saat menyadari itu bukan pertanda baik. Kedua netra Andreas membulat melihat kekacauan yang terjadi. Mamanya dan Audyn terbengong di meja makan. Tiara berkacak pinggang di samping kolam renang. Sedangkan Stella ... tubuhnya terperangkap dalam air yang kacau balau riaknya.

"Rasain! Mampus sana, susul bokap lo!" teriak Tiara sambil tertawa penuh kemenangan.

Andreas kembali berlari, lalu menceburkan diri untuk menyelamatkan Stella. Dia berenang dengan cepat, memecah air kolam renang sekuat tenaga. Begitu berhasil mencapai badan Stella, ia memeluknya dengan erat dan membawanya ke permukaan. Tidak ada pergerakan dari perempuan itu, membuat cemas semakin mencekik Andreas. Dia membawa tubuh lunglai Stella ke pinggir kolam, mengerahkan seluruh tenaga meskipun kakinya mulai terasa berat. Pak Pandhu pun bergerak dengan cepat, segera menarik tubuh Stella dari dan membaringkannya di tepi kolam.

Begitu naik, Andreas langsung berlutut di samping tubuh Stella. Sial, tidak terdengar embusan dari jalan napas perempuan itu. Jantung Andreas berpacu dengan cepat, tetapi ia berusaha untuk terus menjaga fokus. Andreas mendongakkan kepala Stella ke belakang. Setelah memastikan jalan napas terbuka, Andreas menutup hidung gadis itu dengan lembut dan mulai memberikan napas buatan. Dia meniupkan udara ke dalam paru-paru Stella, memperhatikan dada perempuan itu yang sedikit mengembang, tanda bahwa udara berhasil masuk. Setelah dua kali tiupan, Andreas berhenti sejenak, memeriksa kembali apakah ada tanda-tanda pergerakan di dada atau bunyi napas.

Pratigya [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang