Dahi Stella berkerut, menatap layar laptop dengan keseriusan maksimal. Matanya memicing, memastikan tidak ada satu pun huruf yang terlewatkan. Sesekali ia menggigit bibir bawah, tanpa sadar telah merasa gugup. Stella sedang mencari lowongan pekerjaan. Meskipun tabungannya cukup banyak—hasil dari gaji yang selalu disimpan dan nafkah dari Andreas yang tidak pernah digunakan—Stella tetap butuh pemasukan supaya bisa hidup tenang.
Yang paling utama, Stella juga butuh kesibukan untuk mengalihkan perhatiannya. Jika terus berdiam diri di rumah, bayang-bayang Andreas akan selalu menghantuinya. Bisa-bisa, dalam waktu dekat, kewarasan Stella hilang karena tak mampu menahan rindu.
Fokus Stella buyar ketika mendengar suara ketukan pintu. Dia pun segera menyingkirkan laptop dari pangkuan dan gegas keluar dari kamar. "Iya, sebentar!" teriak Stella sembari berlari menuju pintu utama.
"Udah makan, belum, La?" tanya Pak Asep, tepat setelah pintu dibuka.
Sembari menggeleng kecil, Stella pun menjawab, "Belum, Pak."
"Nah, kebetulan banget. Istri saya baru selesai masak. Mumpung masih hangat, dimakan sekarang, ya."
Kedua tangan Stella refleks menerima uluran Pak Asep. Yang kanan mengambil alih semangkuk besar nasi liwet, sedangkan yang kiri memegang piring berisi tumis oncom leunca, tahu goreng, juga sampai petai. Tanpa bisa ditahan, air liur Stella langsung memenuhi rongga mulutnya.
"Ya ampun, Pak, makasih banyak. Maaf, saya jadi ngerepotin begini," ujar Stella.
"Ih, kata siapa kamu ngerepotin? Enggak, lah. Masa sama tetangga ngomongnya begitu?" balas Pak Asep, terdengar tak terima. "Kalau kamu mau gabung makan di rumah kami juga boleh, La. Urang ngariung, biar makannya makin nikmat."
"Saya makan di sini aja, Pak, gak apa-apa," tolak Stella dengan sopan.
"Ya sudah kalau kamu nyamannya begitu. Pokoknya, kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk bilang sama saya. Ya?"
"Iya, Pak."
Stella menatap kepergian Pak Asep dengan mata berbinar. Tetangganya itu dari dulu sama saja, senang berbagi untuk hal kecil sekalipun.
Setelah punggung Pak Asep menghilang di balik gerbang, Stella pun kembali masuk rumah. Dia gegas menuju dapur dan menyimpan hidangan di tangannya ke meja makan yang sederhana. Lalu, dia menyiapkan piring dan sendok. Sebelum mulai, Stella mematikan daya laptopnya terlebih dahulu. Saat ini, makan lebih penting dibandingkan mencari pekerjaan.
Sayangnya, baru saja hendak duduk, Stella harus kembali ke depan karena pintu utama rumah kembali di ketuk. Pak Asep lagi.
"Saya lupa bawa gurame goreng sama asin jambal rotinya. Maklum, La, udah tua."
"Banyak banget ngasihnya, Pak," jawab Stella, sungkan.
"Istri saya emang sengaja masak banyak, buat kamu juga. Makan yang banyak, ya, La. Biar sehat terus!"
Pak Asep pergi begitu saja, tidak memberi kesempatan pada Stella untuk mengucapkan terima kasih. Lelaki paruh baya itu berlari kecil, pasti tidak sabar menikmati masakan sang istri yang tidak perlu diragukan lagi rasanya.
Sembari mengembuskan napas panjang, Stella kembali masuk rumah. Dia menatap piring di tangannya dengan mata berbinar. Sudah lama sekali Stella tidak menikmati ikan asin. Padahal, dulu, ikan asin menjadi lauk yang ia nikmati setiap hari. Stella mempercepat langkahnya menuju dapur. Dia menuangkan nasi ke piring, lalu mengambil satu per satu lauk dengan penuh semangat.
Namun, sekali lagi, Stella harus rela mengundur makan malamnya. Dia memejamkan mata dan membuang napas kasar ketika pintu rumahnya kembali diketuk. Dengan kaki yang dientakkan kuat ke lantai, dia pun berjalan ke depan. Untuk beberapa saat, Stella berdiri di balik pintu, berusaha menyembunyikan kekesalan dengan senyum lebarnya. Setelah merasa siap, barulah dia menarik kenop pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pratigya [Tamat]
RomanceStella dan Andreas adalah dua orang asing yang kebetulan tinggal satu atap. Ikatan pernikahan mereka tidak ada artinya, terkhusus bagi Andreas. Mereka hanyalah suami istri di atas kertas. Keduanya hanya bersikap harmonis dan romantis di depan sanak...