28. Kehilangan

2K 255 34
                                    

Surabaya tidak kalah cerah jika dibandingkan dengan Jakarta. Langitnya memancarkan semangat yang membara, seolah mengikuti alur kehidupan yang tak pernah terhenti. Kota yang berdiri gagah di tepi laut itu, memeluk sejarah di setiap ruas jalannya. Meski begitu, ia akan selalu membuka tangan lebar bagi setiap jiwa insan yang datang mengukir masa depan.

Begitu sampai di Kota Bambu Runcing itu, Andreas dan Levine langsung menuju lahan yang akan menjadi tempat dibangunnya rumah susun. Keduanya langsung bertemu dengan Guntur, teman SMA yang kini menjadi wakil rakyat.

Andreas melihat ke sekeliling, memindai hamparan tanah kosong di hadapannya. "Lahannya cukup luas, ya? Lokasinya juga strategis, dekat dengan pusat kota dan fasilitas umum."

Guntur mengangguk, setuju dengan ucapan Andreas. "Lokasi ini memang sudah lama diincar untuk proyek besar."

"Tanahnya sudah jadi milik pemerintah?"

"Sudah, dari sebulan yang lalu."

"Kira-kira berapa lantai yang akan dibangun, Tur?" Levine ikut bersuara.

"Rencana sepuluh lantai, dengan total sekitar dua ratus unit. Tapi pasti nanti kita juga akan mempertimbangkan ruang hijau dan area bermain untuk anak-anak. Bagaimana menurut kalian?"

"Dua hal itu memang harus masuk ke dalam perencanaan," sahut Andreas sembari menatap Guntur sekilas. "Tapi, gimana sama akses jalan? Karena kalau sudah jadi rumah susun, pasti lalu lintasnya akan meningkat, kan?"

"Soal itu udah dipikirkan matang-matang juga. Akses jalan akan diperlebar dan dibuat jalur khusus untuk pejalan kaki dan sepeda. Akan disediakan area parkir yang cukup luas untuk menghindari terjadinya kemacetan."

Sembari memasukkan tangan ke saku celana, Andreas kembali memindai hamparan lahan kosong di hadapannya. Sekitar 3 sampai 5 tahun ke depan, di sinilah Andreas akan menanamkan mimpinya. Bukan semata-mata untuk kebesaran nama Griya Hartanto, tetapi juga demi masyarakat yang membutuhkan hunian layak dengan harga terjangkau.

Selesai melihat lahan, Andreas dan Levine pun mencari tempat untuk makan malam. Dengan penuh percaya diri, Guntur mengajak mereka berdua ke sebuah restoran yang terkenal dengan rawon dan sambal pencit yang khas. Mereka duduk memutari meja, sempat saling bertukar pandang karena kikuk yang begitu kuat terasa.

"Gue sama sekali gak nyangka sekarang lo jadi anggota dewan, Tur. Perasaan dulu lo yang paling badung di kelas, deh," ucap Levine, berusaha mencairkan suasana.

"Jangankan lo, Vine, gue sendiri aja masih sering ngerasa semua ini cuma mimpi," balas Guntur sambil terkekeh geli. "Tapi jujur aja, gue gak begitu kaget tahu lo kerja sama Andreas sekarang. Dari dulu kalian nempel mulu! Sempet dibilang Romeo Juliet, kan?"

"Eh, iya!" Levine menjentikkan jarinya. Dia langsung menoleh pada Andreas yang masih sibuk melepas jas. "Kita pernah disebut Romeo Juliet, Dre. Lo inget, gak?"

Tanpa ragu, Andreas menjawab. "Emang iya? Saya gak ingat."

Levine berdecak sebal. Dia kembali menatap Guntur dan berkata, "Yang satu ini gak usah diajak ngomong, gak asik! Anggap aja patung!"

"Dari dulu, kalian sama sekali gak berubah. Masih aja suka berantem," cetus Guntur sambil geleng-geleng kepala. Lalu, dia beralih pada Andreas. "By the way, selamat atas pernikahan lo, ya, Dre."

Andreas sempat terdiam selama beberapa saat. Dia sama sekali tidak menyangka pernikahan akan menjadi topik yang mengisi reuni kecil-kecilan ini. Namun, tidak bisa dipungkiri, ada perasaan berbunga di hatinya, jauh berbeda dibandingkan dengan apa yang dia bayangkan dulu. Ternyata, membahas masalah pribadi dengan klien bukanlah hal yang buruk.

Pratigya [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang