18. Kejutan

2.4K 348 67
                                    

"Masuk!" interupsi Andreas ketika pintu ruang kerjanya diketuk.

Sebuah kepala muncul. "Bapak manggil saya?"

"Iya, silakan masuk."

Andreas hanya melirik orang itu sekilas, lalu kembali fokus pada proposal yang sejak tadi ada di tangannya. Lelaki dengan rambut cepak barusan pun masuk ragu-ragu. Dia sedikit terkejut saat mendapati Levine sedang duduk di sofa sambil memegang cermin. Sudut bibir kirinya tampak biru. Sesekali ia mendesis, antara menahan sakit atau kesal.

"Pak, itu kenapa?" tanya lelaki bernama Deden, OB yang kemarin ditugaskan oleh Levine.

"Gara-gara kamu, nih!" ketus Levine.

"Jangan melemparkan kesalahan ke orang lain, Vine. Jelas-jelas itu salah kamu," celetuk Andreas, tanpa mengalihkan pandangannya. Dia melirik Deden sekilas, lalu berkata, "Duduk. Saya mau minta tolong sama kamu, tapi perlu baca ini dulu."

"Eh, iya, Pak." Sembari membungkuk, Deden pun mendaratkan bokongnya di sofa depan meja kerja Andreas. Empuk dan lembut! Beda sekali dengan kursi plastik yang biasa menjadi tempat istirahatnya di gudang peralatan. "Dipukul sama Pak Andreas, ya, Pak?"

Levine masih menatap Deden dengan sengit. "Iya, lah! Siapa lagi yang berani rusak wajah berkharisma saya kalau bukan dia? Emang jahanam manusia satu itu!"

"Maaf, ya, Pak. Gara-gara saya, Bapak jadi babak belur begitu," cetus Deden, terdengar begitu menyesal.

Sambil membuang napas panjang, Levine pun menyimpan cermin ke atas meja. "Udahlah, gak perlu dibahas lagi. Salah saya juga, kok, gak kasih tahu penerima makan siang kemarin dengan jelas. Harusnya saya bilang, buat Bu Stella. Stella Kailani Hartanto."

"Bu Stella itu adiknya Pak Andreas, ya?"

Perkataan Deden kali ini berhasil memecah fokus Andreas. Dia menatap sang bawahan dengan dahi berkerut. Sedangkan Deden sudah membulatkan mata dan menutup mulutnya yang menganga. Levine tertawa kegirangan, sebelum akhirnya harus mengaduh karena lupa akan robekan kecil di sudut bibirnya. Padahal Andreas membogemnya kemarin, sampai hari ini sakitnya belum juga reda.

 Padahal Andreas membogemnya kemarin, sampai hari ini sakitnya belum juga reda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Andreas segera meninggalkan kursi kekuasaannya. Dia menyambar kotak makan dua susun berbahan alumunium yang sedari setia menunggu di sudut di meja kerja. Kemudian, ia duduk tepat di samping Deden dan menatapnya dengan tajam. Cukup tajam, sampai membuat lelaki itu menggeser posisi bokongnya sambil menelan saliva susah payah.

"Tolong antarkan makan siang ini ke Divisi Marketing. Untuk Stella Kailani, bukan yang lain," ucap Andreas, lengkap dengan bariton rendahnya.

"Ba-baik, Pak!" Deden mengangguk dengan cepat.

"Saya tidak menerima kesalahan sekecil apa pun. Jika perlu, kamu foto penerimanya, lalu tunjukkan pada saya."

"Siap, Pak!"

Pratigya [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang