29. Lenyap

2K 274 30
                                    

Dunia ini sering kali terasa kejam, penuh dengan ketidakadilan dan penderitaan yang tak terduga. Keberuntungan hanya berpihak pada segelintir orang, sementara yang lain terperangkap dalam kesulitan yang tiada akhir. Penolakan pun bukan hal sederhana yang bisa diterima begitu saja. Kesedihan karena tidak diterima oleh orang lain adalah perasaan yang dalam dan menyakitkan, seolah-olah ada bagian dari diri yang tidak pernah cukup. Setiap waktu, selalu saja dihadapkan pada penolakan, rasa hampa dan sedih itu mengendap di hati.

Saat dunia terasa begitu keras dan menuntut, rumah selalu menjadi pelabuhan yang menenangkan, tempat di mana semua beban terasa sedikit lebih ringan.

Di sinilah Stella sekarang, berdiri di hadapan bangunan sederhana yang selalu ia sebut rumah sejak dulu. Tempat di mana bahagia, cinta, dan cita tumbuh seiring perjalanan kisahnya. Tempat di mana ia selalu bisa menemukan kenangan hangat tentang orangtuanya.

Stella tahu, sudah tidak ada lagi tempat untuknya di hadapan Keluarga Hartanto. Dia tidak layak menjadi bagian dari orang-orang terpandang itu. Seandainya Bu Meisya mengungkit tentang surat perjanjian pernikahan di hadapan semua orang, yang akan Stella terima hanyalah hinaan yang lebih kejam dari sebelumnya. Dia tidak akan sanggup menghadapi Kakek Sadewa yang telah memberikan kasih sayang yang begitu tulus dan besar. Stella tidak akan bisa membiarkan semua mimpi-mimpi Andreas lenyap karena perempuan kampung seperti dirinya. Jadi, keputusan terbaik yang bisa Stella lakukan adalah pergi. Lenyap bagai ditelan bumi.

"Stella? Itu kamu, Nak?"

Perempuan itu sontak menoleh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perempuan itu sontak menoleh. Meskipun matahari belum terbit sepenuhnya, Stella bisa mengenali siluet hitam yang baru saja muncul dari balik gerbang di depannya. Dia gegas menghampiri orang tersebut. "Iya, Pak, ini Stella. Pak Asep apa kabar?"

"Alhamdulillah, saya sehat," jawab lelaki paruh baya bernama Pak Asep itu sembari mengusap kepala Stella yang mencium punggung tangannya. "Kamu sendiri gimana kabarnya? Damang?"

"Damang, Pak."

"Syukur atuh kalau kamu juga sehat. Bapak kira siapa, berdiri di pinggir jalan dari tadi. Kirain maling yang lagi mantau," pungkas Pak Asep, sedikit bercanda. "Kamu datang sendiri?"

"Sendiri, Pak." Stella mengangguk kecil.

"Emang sengaja datang tanginas atau gimana?"

"Iya, Pak. Jadwal dari pihak travel tiba-tiba berubah," dusta Stella. Tidak mungkin dia terus terang kabur dari rumah suaminya, bukan? "Pak, saya mau tanya, boleh?"

"Mangga, tanya aja. Bapak jawab kalau bisa. Asal jangan soal matematika."

Stella terkekeh kecil. Sudah lama sekali ia tidak mendengar candaan sederhana dari tetangganya itu. "Ibu jual rumah peninggalan Ayah, kan, ya? Bapak tahu siapa pembelinya, gak? Saya perhatikan dari tadi, rumahnya kayak kosong."

Pak Asep menepuk bahu Stella. "Iya, ibu kamu emang jual rumah ini. Seandainya Bapak tahu, sudah pasti Bapak cegah, La. Bapak paham, rumah ini sangat berharga untuk kamu. Ada banyak sekali kenangan bunda dan ayah kamu di sini."

Pratigya [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang