27. Terburai

2.2K 281 54
                                    

Jarak akan selalu menjadi ujian yang berat bagi sepasang kekasih, apalagi bagi mereka yang biasa menghabiskan hari bersama. Namun, jarak bukanlah penghalang, melainkan penguji kekuatan. Ia mengajarkan tentang kesabaran, kepercayaan, dan betapa berharganya kehadiran. Setiap kilometer yang terbentang akan menjadi bukti bahwa kekuatan cinta akan selalu menang. Jarak hanyalah pengukur, tetapi cinta yang sejati takkan pernah berkurang oleh ruang dan waktu.

Stella akan coba percaya pada kata-kata itu. Walaupun berat, dia akan coba percaya bahwa jarak antara Jakarta dan Surabaya bukan apa-apa dibandingkan cintanya dengan Andreas. Dia akan menganggap momen ini sebagai kesempatan untuk memupuk rindu. Ketika dipertemukan kembali, cinta mereka pasti akan lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Perhatian Stella teralihkan ketika tangannya digenggam. Dia mencoba tersenyum pada Andreas yang menatapnya dengan cemas.

"Kok, diem aja dari tadi?"

"Gak apa-apa, Mas," sahut Stella sambil menggeleng kecil.

Andreas menautkan jemari mereka. "Saya pastikan pekerjaan di sana tidak akan bertambah. Hanya tiga hari, nanti saya pulang lagi. Selama itu, kamu sibukkan diri dengan menanam bunga saja. Jadi, kan?"

"Jadi, Mas. Nanti dibantu sama Mbok Darmi."

"Gimana kalau lo ikut aja, La?" celetuk Levine tiba-tiba, yang duduk di samping Pak Yono. "Gue yakin, Andreas bakalan galau kalau udah nyampe sana. Di sini aja kelihatan baik-baik aja, sok kuat."

Stella terkekeh ringan mendengar ucapan lelaki berkulit sawo matang itu. "Aku kerja, Mas Levine, gak bisa ambil libur gitu aja."

"Ya elah, La, santai aja. Suami lo ini yang pegang perusahaannya. Sekali-kali harus manfaatin privilege itu, lah. Hidup ini jangan lurus-lurus banget, biar seru!"

Tanpa ampun, Andreas menendang sandaran kursi Levine lumayan keras. "Jangan ngajarin istri saya yang enggak-enggak, ya!"

"Cie, yang udah ngakuin istri, cieee .... Sekarang panggilnya istri saya. Udah berani pamer sana-sini juga. Padahal dulu ... beuh! Jahatnya amit-amit! Iya, gak, Pak?" Levine menepuk bahu Pak Yono yang sedari diam saja.

"Iya, Pak." Hanya jawaban yang diberikan pria berkumis itu.

"Nah, sekarang kalian udah ambil jalur damai, kan? Udah harmonis dan sentosa, nih. Kayaknya ini waktu yang tepat buat gue minta ponakan. Dua juga cukup, kok. Tapi harus mirip Stella dua-duanya. Gue gak bisa jamin masih waras kalau harus ketemu Andreas versi mini. Gimana, La? Mau, kan?"

Dengan sangat terpaksa, Andreas melepaskan pautan tangannya dengan Stella. Dia memutar kepala Levine cukup kasar, tidak peduli jika itu akan membuatnya salah urat. "Lihat ke depan. Jika kamu masih bicara yang tidak-tidak, saya turunkan kamu di sini sekarang juga!"

"Tuh, La! Lo lihat sendiri gimana kejamnya suami lo, kan? Gue dianiaya mulu, La!" adu Levine tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

Stella hanya geleng-geleng kepala melihat pertikaian sepasang sahabat itu. Lalu, dia memukul pelan bahu Andreas yang berdecih sembari menatap punggung Levine dengan dongkol. Mereka kembali berpegangan tangan. Stella memanfaatkan waktu yang tersisa untuk terus menempel pada Andreas.

Malam tadi, Levine mendapatkan telepon dari temannya yang bekerja di Pemda Surabaya. Dia langsung mengabarkan pada Andreas bahwa keputusan akhir dari proyek rumah susun sudah ada. Griya Hartanto akan mengatur proses konstruksi dari awal hingga akhir. Besok akan diadakan rapat dengan dengan anggota dinas, developer, arsitek, sampai para konsultan. Maka dari itu, sore ini Andreas dan Levine gegas terbang menuju Surabaya.

Setelah perjalan selama 30 menit, akhirnya mereka sampai di Bandara Halim Perdanakusumah. Seperti saat membantu Andreas menyiapkan koper tadi malam, Stella berusaha memberikan senyum terbaiknya di hadapan sang suami. Meskipun sebelum-sebelumnya Stella sering ditinggalkan keluar kota-bahkan tanpa pemberitahuan-tetapi kali ini rasanya beda. Sangat memberatkan hati.

Pratigya [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang