19. Rumah

2.4K 358 48
                                    

Kerja keras, saling percaya, dan kolaborasi sempurna adalah fondasi dari sebuah tim yang solid. Rekan kerja yang baik adalah mereka yang selalu ada, tidak hanya saat senang, tetapi juga saat tantangan datang.

Sayangnya, sejak bergabung di Divisi Marketing PT. Griya Hartanto, Stella tidak pernah merasakan berada di tengah tim yang benar-benar solid. Setidaknya, situasi di kantor jadi lebih baik setelah Riga datang. Namun, sikap anggota yang lain masih saja membebani Stella, terutama Cecil. Entah mengapa, perempuan itu seperti tidak menyukai Stella. Padahal, tidak pernah ada perdebatan nyata di antara keduanya.

Suasana sekitar menjadi pengap sejak 10 menit yang lalu. Dari sudut mata, Stella bisa melihat bahwa Cecil tengah memperhatikannya. Cara dia memandang sangat tidak membuat nyaman, jelas mencela. Sesekali Cecil juga mendengkus sembari memutar bola matanya malas.

"Jujur sama gue, kotak makan yang kemarin dari siapa?" pungkasnya, setelah sekian lama diam.

Stella hanya berani bertukar pandang selama beberapa detik, lalu kembali menatap layar komputer. "Ada, lah, Mbak."

"Beneran dari cowok? Emang ada yang suka sama lo? Namanya siapa? Dari divisi mana?" Cecil terus membombardir Stella dengan pertanyaan yang bercokol di kepalanya sejak kemarin siang. "Tapi, kayaknya salah kirim, deh. Udah pasti makan siang itu buat gue!"

"Enggak, kok, Mbak. Itu beneran buat aku," timpal Stella dengan cepat.

Cecil berdecak sambil mengipas wajahnya dengan tangan. "Ya udah, sih. Tinggal bilang aja, dari siapa. Ribet banget, gak mau terus terang! Kenapa? Malu karena yang ngasih gak sekelas sama Pak Andreas? Gak akan gue ketawain, kok."

"Ini jam kerja, Mbak. Gak boleh bahas urusan pribadi," bisik Stella, berusaha mengingatkan.

"Oh! Atau jangan-jangan ...." Cecil tersenyum lebar, setelah sekian lama bibirnya mengerucut sempurna. "Kotak makannya dari OB yang kemarin, ya? Iya, kan? Beneran dari dia, kan?"

"Bukan, Mbak. Mas yang kemarin cuma nganterin."

"Udah, gak usah malu. Jangan dibiasain punya gengsi tinggi. Gak apa-apa, kok. Kalian kelihatan serasi. Semoga cepet resmi, yaaa."

Stella hanya bisa menghela napas panjang ketika Cecil memalingkan wajahnya, enggan untuk mendengarkan. Dia kembali bekerja, dengan senyum merekah penuh kemenangan. Kedua matanya pun berbinar, seperti baru saja mendapatkan hadiah besar. Sekarang terbalik, Stella yang jengkel. Namun, seperti biasa, dia hanya bisa menelan bulat-bulat setiap kata yang harusnya terucap sebagai pembelaan.

Jangan marah, Stella. Sabaaaarr .... Tahaaaann .... Dia cuma bisa ngaku-ngaku dideketin Mas Andreas, sedangkan kamu istrinya.

Pletak!

Tanpa sadar, Stella mematahkan pensil yang ia pegang. Ralat, ia mencengkeramnya demi mencurahkan kekesalan.

Tapi harus sampai kapan? Sampai kapan aku biarin perempuan lain berimajinasi yang enggak-enggak tentang suami aku?!

Tarik napas, keluarkan perlahan. Stella berusaha menyelamatkan diri dari api amarah yang telah menghanguskan sebagian logikanya. Tidak akan lucu jika dia mengamuk saat itu juga. Bisa-bisa orang lain mengiranya gila ketika ditanya Stella hanya menjawab, "Gak apa-apa. Pengen teriak aja."

"Permisi."

Perhatian semua orang langsung tertuju ke arah pintu masuk. Di sana, berdiri sosok laki-laki yang memegang buket mawar merah dan sekotak Ferrero Rocher. Stella kenal lelaki itu. Yang kemarin mengantarkan makan siang dari Andreas.

"Bu Stella, ini buat Ibu," ucap Deden setelah berhasil menemukan tempat duduk Stella.

"Saya?"

"Iya, Ibu Stella."

Pratigya [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang