14. Diculik

37.3K 3.2K 140
                                    

Yoweyo!!
HAPPY READING SENG

Bianca termenung. Tangannya tak berhenti mencabuti kelopak bunga yang baru saja ia petik dari taman. Memang bukan hal yang baik, tapi ia sudah meminta izin pada tukang kebun yang sedang menyiram.

Lamunannya buyar ketika kelopak bunga itu sudah sepenuhnya habis. Membuang tangkai bunga ke tempat sampah, Bianca menghela napas panjang.

"Aku rasa alur cerita ini sudah melenceng terlalu jauh." Gadis itu menatap ke atas langit. Punggungnya bersandar pada sandaran bangku. Ia tengah berada di taman fakultasnya yang tidak terlalu ramai.

Ingatannya kembali pada saat ia tengah berbicara dengan Dean tadi. "Aku tidak bodoh, aku tahu arti tatapannya." Ia mendengus. Rasa pening menghantam kepalanya.

Lagi-lagi ia memikirkan tentang Nathaniel bersama takdir hidupnya. "Bagaimana jika takdir yang ku tulis untuknya tidak bisa dirubah?" Keningnya mengernyit dalam. "Tapi aku penulisnya, aku bisa melakukan apapun, benar kan Tuhan?" ujarnya meyakinkan diri sendiri.

Hingga sebuah realita menghantamnya kembali. "Yang penulis itu Ayudisa, bukan Bianca."

Tangannya menyurai rambut ke belakang. Sesekali ia memukul kepalanya. Pikirannya seakan kosong. Segala kemungkinan terburuk menghampiri otaknya.

Berusaha menepis itu, Bianca kembali mengumpulkan tekadnya. Ia lantas beranjak dari kursi taman, sudah waktunya ia pulang. Otaknya perlu diistirahatkan.

"Aku kangen Bunda."

***

Lagi dan lagi, selama dua hari ini Bianca hanya diam saja di rumah. Kegiatannya hanya makan, tidur, kuliah, makan lagi, dan kembali tidur. Selama itu ia hanya sendiri, Antonio belum juga pulang dari Rusia, begitu pula Nathaniel.

Tanpa adanya Nathaniel, tugas Bianca sebagai pendamping tidaklah berguna. Tugasnya untuk melindungi lelaki itu hanya bisa dijalankan ketika mereka berdekatan, bukannya beda negara seperti saat ini.

"Huft." Menghembuskan napas panjang, Bianca merebahkan kepalanya di atas meja makan. Kedua tangannya menggenggam garpu dan sendok, tapi piring di atas meja masih utuh belum tersentuh sama sekali.

Rasanya ia tidak bersemangat untuk berangkat kuliah. "Bi, kalau Bia nggak kuliah sehari aja Ayah marah nggak, ya?"

"Bukan Non yang akan dimarahi, tapi Bibi," ujar Bi Marta menunjuk dirinya sendiri.

Gadis itu cemberut, pipinya menggembung lucu. Ia menegakkan kembali tubuhnya, dilihatnya sepiring nasi dan segala lauknya di atas meja. Namun, nafsu makannya tidak kunjung kembali.

"Non pasti bosan, ya?" tanya Bi Marta prihatin melihat kondisi anak majikannya itu

"Bangeettt, Bi."

Bi Marta membalas dengan senyuman. Meskipun prihatin, tapi sebagai pembantu tidak banyak yang bisa wanita itu lakukan.

Dengan segala semangat yang ia kumpulkan, Bianca mulai menyantap makanannya dengan perlahan, sebentar lagi ia harus berangkat kuliah.

"Kenapa Non tidak menelpon Tuan saja?" celetuk Bi Marta

Bianca menyelesaikan kunyahannya sebelum menjawab, "Tidak bisa, Bia takut ganggu Ayah, biar nanti Ayah saja yang telpon Bia."

Setelah menyelesaikan makannya, Bianca segera beranjak dari kursi.

"Bia berangkat dulu ya, Bi."

***

Varendra's University, tempat para anak-anak konglomerat menuntut ilmu tingkat lanjut, kampus dengan biaya fantastis namun sesuai dengan segala fasilitas serta metode belajarnya.

Figuran : Change Destiny of The Antagonist (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang