[SEBELUM MEMBACA HARAP FOLLOW AUTHOR DULU]
"Lo nggak tau siapa gue?" Vaga bertanya, matanya menyipit berbahaya.
Perempuan itu tertawa kecil, suaranya merdu namun ada nada mengejek di dalamnya. "Oh, gue tau siapa lo. Vaga Santara Altair, si 'villain'...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bab 38 | In Memory
Sera menatap refleksinya di cermin besar di sudut ruangan. Jemarinya yang lentik menyentuh pipinya yang masih terlihat kebiruan akibat tamparan Panca. Sudut bibirnya yang mengering membuatnya mendesis kesal.
"Brengsek," gumamnya pelan, matanya berkilat penuh amarah.
Ia bersumpah dalam hati akan memberi Panca pelajaran yang tak akan pernah ia lupakan. Tak ada yang boleh merusak wajahnya yang sempurna, apalagi seorang pecundang seperti Panca.
Sera kembali ke sofa mewahnya, membiarkan perempuan muda sedang dengan telaten merawat kuku-kuku kakinya.
"Erna. Pelan-pelan," gerutu Sera saat merasakan sedikit nyeri.
"Maaf, Nona," ujar Erna, menunduk meminta maaf.
Sera memutar bola matanya. Sebenarnya, Sera tidak sakit-sakit amat. Insiden kemarin memang membuatnya merasa sedikit tidak enak badan, tetapi lebih dari itu, ia hanya terlalu malas untuk ke sekolah.
Apalagi, dengan daddynya yang sedang berada di Melbourne, ia tidak perlu khawatir akan ada yang menginterogasi atau menceramahinya. Ditambah kejadian kemarin masih membekas di benaknya. Bukan hanya secara fisik—memar di pahanya masih terasa nyeri—tapi juga secara mental. Kata-kata Panca terus terngiang di telinganya.
Vaga... pembunuh? Ngehamilin cewek terus ninggalin?
Sera menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu. Tapi sia-sia. Dan yang membuatnya semakin frustrasi, Vaga seolah menghilang ditelan bumi. Tidak ada kabar sejak kemarin. Ia benci merasa seperti ini—benci merasa tidak tahu apa-apa, benci merasa dipermainkan.
"Nona Sera, ada tamu," suara Emma, maid pribadinya, membuyarkan lamunannya.
Sera mengernyit. "Siapa?"
"Katanya teman sekolah Nona Sera."
"Bilang aku lagi sakit," ujar Sera acuh.
Emma terlihat ragu. "Tapi Nona... tamunya sudah masuk."
"What?!" Sera memekik kesal. "Siapa yang nyuruh dia masuk?!"
Belum sempat Emma menjawab, sosok jangkung Ravin muncul di ambang pintu ruang tamu. Sera terperangah, antara kaget dan kesal.
"Lo ngapain di sini?" tanya Sera dingin.
Ravin tersenyum, mengangkat bungkusan di tangannya. "Gue denger lo sakit. Jadi gue bawain ini," ujarnya, meletakkan bungkusan itu di meja.
Sera menatap Ravin tajam. "Gue gak nanya soal itu. Gue nanya, ngapain lo di sini? Dan dari mana lo tau alamat gue?"
Ravin mengangkat bahu. "Fayena yang kasih tau."
Sera mengernyit. Seingatnya, Fayena tidak tahu alamat rumahnya. Tapi ia memutuskan untuk tidak ambil pusing. Ada hal lain yang lebih mengganggunya.
"Whatever," Sera mendengus. "Lo udah liat gue kan? Gue baik-baik aja. Sekarang lo bisa pergi."