[22] : THEY ARE SIBLINGS

2.2K 92 3
                                    

Bab 22 | They Are Siblings

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bab 22 | They Are Siblings

Ketika akhirnya Vaga sampai di rumah sakit, ia berlari menyusuri koridor dengan langkah tergesa. Dari kejauhan, ia bisa mendengar suara teriakan yang familiar. Suara yang selalu membuatnya merasa tak berdaya.

"Mama..." bisik Vaga lirih, hatinya terasa diremas kuat melihat pemandangan di depannya.

Di dalam ruangan, mamanya tengah meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari pegangan dua orang perawat. Wajahnya merah padam, air mata mengalir deras di pipinya.

"Lepasin! Lepasin saya!" teriak ibunya. "Saya mau pulang! Mana anakku?!"

Vaga melangkah masuk dengan hati-hati. "Ma... ini Vaga. Vaga di sini, Ma."

Mendengar suara Vaga, mamanya seketika berhenti meronta. Ia menoleh, matanya yang berkaca-kaca menatap Vaga dengan pandangan kosong.

"Vaga?" bisiknya pelan. "Kamu... siapa?"

Vaga merasa hatinya hancur berkeping-keping. Selalu seperti ini. Selalu ada momen di mana mamanya tidak mengenalinya. Tapi tak peduli berapa kali ini terjadi, rasa sakitnya selalu sama.

"Ini Vaga, Ma," Vaga berusaha tersenyum, meski hatinya menjerit. "Anak Mama. Vaga di sini buat Mama."

Mamanya menggeleng keras. "Bukan! Kamu bukan Vaga! Vaga masih kecil! Mana Vaga ku?!"

Vaga menghela napas berat, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menoleh pada Dokter Dian yang baru saja masuk ke ruangan.

"Tan... kenapa bisa gini lagi?" tanya Vaga, suaranya bergetar.

Dokter Dian menghela napas. "Tante juga nggak tau pasti, Vaga. Tadi sore kondisinya masih stabil. Tapi tiba-tiba aja..."

Vaga mengangguk pelan, matanya kembali tertuju pada sosok mamanya yang kini meringkuk di sudut ruangan, terisak pelan. Hatinya terasa diremas kuat melihat pemandangan itu.

"Ma," panggil Vaga lembut, perlahan mendekati mamanya . "Ini Vaga, Ma. Vaga udah gede sekarang. Tapi Vaga masih anak Mama yang dulu."

Mamanya mengangkat wajahnya, menatap Vaga dengan pandangan bingung. Ada secercah kesadaran yang berkelebat di matanya, namun segera digantikan oleh kabut kebingungan.

"Vaga? Tapi... tapi Vaga masih kecil..."

Vaga tersenyum lembut, meski hatinya terasa hancur. Ia berlutut di samping Mamanya, berusaha menjaga jarak agar tidak membuatnya takut.

"Iya, Ma. Vaga udah gede sekarang. Tapi Vaga masih sayang sama Mama. Vaga di sini buat Mama."

Perlahan, Vaga mengulurkan tangannya. Mamanya ragu-ragu sejenak, matanya bergantian menatap tangan Vaga dan wajahnya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, akhirnya mamanya menyambut uluran tangan Vaga.

VAGASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang