BAB 1 - PROLOG

78 17 4
                                    

*Karya Abadiku*

Langit sore itu dihiasi dengan sinar jingga yang mulai meredup, seolah matahari enggan berpisah dengan hari yang telah berlalu. Di sebuah cafe kecil di sudut kota, aku duduk di dekat sebuah jendela putih besar dengan hiasan vas cantik disampingnya. Di hadapanku ada sebuah meja bulat putih classic terbuat dari kayu. Aku menyesap es kopi susu gula aren sambil memandangi jalanan yang dipenuhi oleh hiruk-pikuk kehidupan. Sepertinya cup cake boleh juga untuk menutup hari dengan sempurna.

Suara denting gelas, obrolan hangat pengunjung cafe yang tidak terlalu ramai, dan alunan lagu-lagu lembut yang memadukan emosi kuat serta makna mendalam tengah mengiringi fikiranku yang sedang berjalan jauh ke masa lalu.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka..

Aku pun menoleh ke pintu di samping kanan, sosok yang masuk di ambang pintu membuat waktu seakan berhenti. Lelaki yang tampan, rambut hitam dengan belahan samping yang ku kenal, senyumnya tetap sama, hangat dan menenangkan. Cara berjalan nya masih sama, seperti seorang jurnalis yang sedang bersiap menerkam liputan berita; Tegas, santai namun jenaka.

Mata lembut itu, kini tampak lebih bijak, namun sorot kasihnya masih ada dan seperti tidak pernah pudar.

Ya, dia adalah seseorang dari masa laluku, sahabat kecilku, karya abadiku yang menghabiskan ratusan lembar buku diary-ku. Seseorang yang selalu kupinjam bahunya untuk menangis. Sosok anak laki-laki yang dulu sering kuambil permennya dan kutukar dengan bergandengan tangan selama 3 detik.

"Tidak mengapa, Ia menyukainya."

Namun, di balik semua kekonyolan itu, ada sesuatu yang begitu tulus dari dirinya, sesuatu yang selalu membuatku tersenyum bahkan membuatku lupa marah. Sebuah kejujuran yang tidak pernah ku temui dalam diri orang lain.

Ia mungkin sering ceroboh, bahkan terkadang menjengkelkan, namun itu adalah bagian dari pesonanya yang tidak pernah bisa kutolak. Seringkali aku melempar sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya saat ia sedang marah pada hal-hal sepele, biasanya ia akan berhenti sejenak, menatapku dengan mata bingung, lalu tersenyum seolah mengatakan,

"Kamu tahu aku banget ya, Lea."  ucapnya sambil terkekeh

Aku harap ia mengerti bahwa aku melakukannya bukan karena kasihan, melainkan karena aku ingin ia tahu, bahwa ia tidak sendirian. Ia punya aku!

Ia harus tahu bahwa ada seseorang di sini yang selalu siap untuk membantunya, bahkan saat hal-hal kecil sekalipun yang membuatnya gusar; semisal jika panasnya sinar matahari yang sedang gagah itu menyentuh ujung bulu mata tidak lentiknya, dan ia mengomel dibuatnya. Aku akan dengan senang hati membantunya menggerutu pada matahari.

Kami mungkin tidak pernah berbicara tentang perasaan kami secara langsung, tapi dalam setiap kata, senyuman, tawa dan gerak-gerik kecil, aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara kami. Sesuatu yang tumbuh perlahan, namun pasti. Seperti sinar matahari yang secara perlahan menghangatkan pagi hari. Aku tahu bahwa perasaanku kepadanya semakin dalam..

***

"Hi Leandra Kaluna, ternyata kamu masih suka teh melati?"

Tanyanya dengan nada sarkas seraya berjalan mendekatiku sambil menatap es kopi susu gula aren yang sudah kupesan.

Dengan suara yang tetap sama, lembut, konyol, namun terakhir kuingat, suaranya selalu sanggup menenangkanku.

Senyum lantas mengembang di bibirku.

"Kalo kamu.. masih suka nyebelin? Masih tau bedanya teh sama kopi kan? "

Dia tertawa kecil, suara yang selalu bisa membuatku merasa aman. Bagaimana mungkin aku lupa?

Kami berbincang seolah waktu tak pernah memisahkan kami dahulu, saling bertukar cerita hidup masing-masing. Bagaimana dunia telah membawa kami ke jalan yang berbeda.

"Lea, kamu udah gede ya.."

Ucapnya lembut padaku dengan sedikit canggung sembari tersenyum malu.

Di balik semua ceritaku dengannya, aku bisa merasakan saat ini, detik ini, bahwa ada sesuatu yang tidak berubah, ikatan yang tidak terlihat itu.

Entah apa namanya..

Revano..
Inisial 'R' nya pun masih sering kutulis, bahkan setelah bencana itu datang memisahkan kami..

 Inisial 'R' nya pun masih sering kutulis, bahkan setelah bencana itu datang memisahkan kami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang