BAB 28 - KOTA TERISOLASI

19 5 0
                                    

Empat hari setelah gempa besar mengguncang Bandung, kota ini masih lumpuh total

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat hari setelah gempa besar mengguncang Bandung, kota ini masih lumpuh total. Kami hidup dalam suasana mencekam karena terputus dari dunia luar. Tidak ada sinyal, menara komunikasi roboh, kabel-kabel fiber optik terkubur di bawah reruntuhan gedung. Listrik pun mati total, pembangkit listrik terdekat rusak berat dan jaringan distribusi terputus di banyak titik, membuat kota tenggelam dalam kegelapan. Transportasi darat sepertinya mustahil, hanya bisa dilalui oleh sepeda dan sepeda motor saja, maka dari itu kami tempuh destinasi yang kami tuju hanya dengan berjalan kaki. Karena bahan bakar seperti bensin untuk kendaraan bermotor pun sulit.

Akses tol yang menjadi jalur distribusi utama retak hebat, jalanan kota penuh celah dan lubang besar, menelan kendaraan yang mencoba melintasinya. Mobil pengangkut makanan dan bantuan terpaksa berhenti di pinggiran kota karena mereka tidak mampu menembus kerusakan yang besar ini. Perlahan kota ini terasa seperti kota yang ditinggalkan oleh sebuah harapan.

Satu-satunya bantuan yang bisa mencapai kami sekarang hanyalah dari udara, yaitu helikopter milik pemerintah dan lembaga bantuan internasional yang datang silih berganti. Mereka terbang rendah di atas kami. Namun, helipad darurat yang dibuat di lapangan terbuka banyaknya dijadikan tempat pengungsian atau terlalu sempit untuk menampung semua yang datang. Sementara itu, suplai yang diturunkan dari ketinggian terbatas, seperti makanan dan obat-obatan, hanya cukup untuk segelintir orang. Sebagian besar warga masih harus berjuang dengan tangan kosong, mencari sisa-sisa kehidupan di antara puing-puing. Kami semua sekarang hanya bisa berdoa dan berharap pada putaran baling-baling di angkasa.

***

Aku menghela napas panjang saat melangkahkan kaki keluar dari rumah Om Derry di Jalan Pasteur. Hari ini, aku memutuskan untuk pergi berjalan kaki ke salah satu posko bantuan dan tenda pengungsian yang berdiri di reruntuhan sekolahku. Meskipun dalam tiga hari kedepan, aku akan meninggalkan Bandung untuk pindah ke Jakarta, ada dorongan kuat dalam diriku untuk membantu orang-orang yang mengalami nasib lebih buruk dariku. Aku tidak bisa diam saja melihat penderitaan orang lain, meskipun diriku juga sedang berjuang menghadapi kekacauan batinku sendiri.

Aku melangkah masuk ke ruang perawatan darurat di sekolahku, tempat pengungsi dengan luka-luka dirawat. Tatapanku langsung tertuju pada seorang relawan yang tengah sibuk merawat luka seorang anak kecil. Perempuan itu tampak sangat familiar di mataku. Seorang yang cantik dengan aura kecerdasannya, berambut pendek sebahu yang berwarna keabuan.

Diandra?” Aku mendekat, memanggil pelan.

Diandra mendongak, dan ekspresi terkejut langsung terpancar di wajahnya.

Loh, kamu kok di sini, Lea?” tanyanya singkat, sambil terus membalut luka anak itu.

Aku mengangguk. “Iya, aku baru aja daftar jadi relawan. Kamu.. dari kapan di sini?”

Diandra menahan napas sejenak sebelum menjawab, seolah berusaha terlihat santai.

Baru aja, nggak lama kok. Kebetulan... ada panggilan.”

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang