Aku menarik selimutku hingga menutupi seluruh tubuhku, tubuhku menggigil tapi bukan karena dingin cuaca atau angin pantai malam hari, melainkan karena perasaan yang tak tertahankan lagi. Air mataku terus mengalir, pikiranku sedang memutar beberapa adegan masa kecilku dengan Revano ditambah dengan setiap kata dan tindakan yang terjadi di antara Kai dan Revano yang baru terjadi hari ini. Aku merasa sudah tidak punya kekuatan untuk membersihkan diri atau sekedar mengelap wajahku dengan tissue basah seperti biasanya. Dibawah selimut itu aku mencoba bersembunyi dari diriku sendiri.
Aku mencoba tertidur tapi sepertinya mataku ini enggan terpejam, maka sontak tanganku meraih diary yang terletak di laci nakas tempat tidur. Kunyalakan lampu kamar yang tadi ku matikan satu sisi nya, membuka lembar demi lembar halaman kosong itu. Aku mencoba menulis apa yang ku rasakan, mencoba meraih ribuan diksi yang saat ini tidak ada.
Perasaan hancur itu terlalu dalam, terlalu berat untuk diungkapkan hanya dengan tinta bolpoin. Aku akhirnya hanya menggambar dua buah matahari yang terbenam di langit, diatas sebuah lautan yang menghampar luas, ada titik-titik dan riak airnya, menggambar sebuah perahu kecil bermuatan beberapa kontainer ikan tanpa awak, dan menggambar satu buah rumah kayu yang sudah usang di tepi pantai, ada seekor anak monyet yang sedang melihat jauh ke langit jingga yang hampir gelap dan beberapa box kontainer kayu yang tertinggal di pantai. Entah apa maksudku, aku hanya mengikuti kemana pikiran dan tanganku membawa.
Dua jam berlalu, dan aku terbangun dengan sentakan dari arah pintu, ternyata barusan aku tertidur setelah menggambar. Kinan berdiri di sampingku dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Ia mengguncang bahuku dengan lembut, memanggil namaku berulang kali hingga akhirnya mataku terbuka sepenuhnya.
"Kinan, ada apa sih?" tanyaku dengan suaranya sedikit parau mataku masih berat karena tangis.
"Kamu! Kamu harus denger ini, please bangun dulu Lea," jawab Kinan, duduk di tepi tempat tidur sebelahku masih terengah-engah.
"Aku tadi di pantai... sama Akbar lagi ngobrol di bawah pohon sambil duduk di pasir."
Aku mengerutkan alis dan kebingungan "Pantai? Maksudnya?"
Kinan mengangguk cepat. "Iya, kita tadi duduk di bawah pohon, nggak jauh dari tempat si Kai sama Revano. Aku denger percakapan mereka, Lea. Semuanya!"
Aku langsung terduduk, rasa kantukku hilang seketika.
"Emang mereka bilang apa?"
Kinan menarik napas dalam-dalam, matanya menatap langsung padaku.
"Mereka berantem, Lea. Awalnya cuma ngobrol biasa, terus kemudian suasananya malah makin panas. Aku denger jelas semuanya. Mereka berdua tegang. Akbar sempet mau mendekat dan melerai karena dia khawatirnya pertengkaran itu bakal mempengaruhi permainan basket mereka ke team. Tapi aku tahan."
"Kenapa kamu tahan?" tanyaku heran
"Aku pikir mereka harus selesaikan ini sendiri. Aku tau ini penting buat mereka berdua, terutama soal kamu. Aku nggak mau mereka ngerasa diintervensi sebelum mereka bisa selesaikan. Jadi aku minta Akbar untuk kasih mereka ruang dulu, karna aku percaya mereka berdua sama-sama berpikir dewasa"
KAMU SEDANG MEMBACA
JINGGA [ON-GOING]
AcciónSebuah bencana gempa bumi besar di Bandung memisahkan Leandra dan Revano, sahabat yang dipertemukan takdir sejak kecil. Bersama Kai dan Diandra, mereka menjalani persahabatan yang murni dan polos, hingga perlahan mulai memahami arti cinta. Bencana t...