BAB 44 - CERITA YANG BELUM USAI

12 3 0
                                    

"Ding-dong." Suara bel itu mengagetkanku, memecah keheningan momen kehangatan yang sedang kurasakan dalam dekapan Revano. Di satu sisi, rasa bahagia dan nyaman itu tiba-tiba tergantikan oleh rasa kikuk yang mendadak muncul. Seketika, aku melepaskan pelukannya, merasa seolah-olah kami sedang berada di tengah-tengah momen yang terlalu intim untuk diinterupsi.

"Siapa ya, Rev?" tanyaku dengan suara pelan, sambil berusaha menyembunyikan rasa gugup yang mulai menjalar. Aku merapikan rambutku yang sedikit berantakan ini.

"Itu pasti Kai, Mega, atau Diandra, Rev," kataku, suaraku sedikit bergetar meskipun aku berusaha untuk terdengar santai. Aku berbalik ke arah Revano, dan melihat senyumnya yang selalu membuat hatiku berdebar. Ada ketenangan dalam tatapannya, seolah dia mengerti betapa canggungnya situasi ini bagiku.

Revano mengangguk, senyumannya seperti biasa-selalu menarik untukku, dibalut dengan tatapan lembut itu. "Iya, buka dulu ya. Aku tunggu di sini," jawabnya dengan nada lembut, seakan ingin memberiku ruang untuk menghadapi situasi ini.

Aku melangkah ke arah pintu, mencoba menenangkan diri. Setiap langkah terasa lebih berat dari biasanya. Apa yang akan terjadi setelah ini? Bagaimana jika yang datang adalah Diandra? Aku tahu betapa beratnya perasaan Diandra setelah Revano menghilang. Keterpurukan itu masih membekas dalam ingatanku, dan sekarang Revano kembali-apakah semua ini akan mengubah segalanya? Bagaimana jika persahabatan kami berakhir karena kehadiran Revano kembali diantara kami?

Ketika aku membuka pintu, wajahku berusaha untuk menampilkan senyum hangat, meskipun hatiku tak karuan dan jantungku seperti mau melompat rasanya. Di depan pintu, di hadapanku, berdiri Diandra, dengan ekspresi wajah lunglai. Dia tampak lelah, tapi matanya berbinar saat melihatku.

"Hey, Lea! Gue baru beres nih, gila pasien sumpah! Beberapa hari ini gue jadi takut, Lea. Ngeri banget ini virus! Gue mau cerita didalem, cepet! Eh mo surprise apa lo, awas jangan ngalangin! Ngapain lo masih berdiri terus disitu?" ujarnya, suara cerianya seperti biasa dengan mata besar membelalak meyakinkanku tentang virus berbahaya itu, namun ekspresiku sepertinya sedikit kikuk.

Aku ingin menjelaskan kehadiran Revano di sini, tetapi sebelum aku sempat berkata apa pun, pandangan Diandra beralih ke dalam ruangan dan langsung terhenti. Matanya melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di sana, di sudut ruang tamu, Revano duduk di sofa menatapnya dengan penuh rasa bersalah. Untuk sesaat, semuanya terasa hening. Tidak ada yang berbicara. Hanya ada suara detak jantungku yang berdegup kencang, menciptakan ketegangan yang hampir tak dapat kutahan.

 Hanya ada suara detak jantungku yang berdegup kencang, menciptakan ketegangan yang hampir tak dapat kutahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Re... Re... Revano?" suara Diandra bergetar, bibirnya hampir tidak mampu mengucapkan namanya. Aku bisa melihat bagaimana perasaannya bergejolak antara kebahagiaan dan kebingungan, matanya mulai berkaca-kaca.

Aku berdiri di antara mereka, bergeser dari tempatku berdiri agar Diandra bisa mengekspresikan perasaannya. Aku merasakan beban yang ada diantara mereka. Segala emosi yang terpendam selama ini seakan menguak kembali ke permukaan. "Apa yang akan terjadi selanjutnya? Ya Tuhan..." gumamku dalam hati.

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang