BAB 26 - BUSUR DAN ANAK PANAH

10 5 0
                                    

Tiga hari setelah gempa, kota Bandung terasa seperti kita memasuki salah satu scene dalam film-film dengan tema city survival

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga hari setelah gempa, kota Bandung terasa seperti kita memasuki salah satu scene dalam film-film dengan tema city survival. Jalanan yang dulu penuh warna keceriaan dengan jajanan pinggir jalan yang selalu mengundang warga dari luar kota ingin selalu kembali berkunjung, hawa sejuk manis yang romantis mengajak orang-orang yang saling mengasihi untuk datang membuat kenangan sebanyak mungkin, namun sekarang.. seolah semua itu memudar bersamaan dengan warna kelabu dari partikel debu yang menutupi angkasa kami, kian tenggelam dalam kegelapan di malam hari.

Kami masih terbalut dalam gelap saat malam tiba dikarenakan lampu jalanan rusak tersisa beberapa lampu darurat saja yang terkadang berkedip.
Tenda-tenda darurat memang berdiri di mana-mana, itu adalah titik-titik perlindungan sementara bagi mereka yang kehilangan rumah. Seharusnya aku ada disitu, dengan berbagi dapur umum bersama orang-orang yang baru ku kenal. Tenda-tenda itu bahkan berdiri di lapangan, trotoar, di tepi jalan, hanya ditutup dengan terpal yang tidak rapi berwarna biru dan oranye. Di bawah sinar redup lampu darurat itu, para keluarga terpaksa berkumpul di dalam tenda, mencoba menemukan kenyamanan dan kehangatan di tengah ketidakpastian.

Mencari air bersih menjadi sebuah perjuangan. Banyak yang harus antre di tempat-tempat yang menyediakan air, dan sering kali harus menunggu berjam-jam hanya untuk mendapatkan sebotol air. Sungguh prihatin. Pompa-pompa air umum tidak berfungsi, sumur-sumur yang dulu jadi andalan kini terkubur atau tidak layak pakai karena kotor. Air bersih jadi barang berharga yang sangat sulit ditemukan, dan kami harus bergantung pada distribusi air oleh relawan atau mungkin mengumpulkan air hujan yang tidak kunjung turun ini.

Sembako juga menjadi barang langka. Supermarket dan toko-toko sembako yang masih berdiri kokoh akibat gempa kini dipenuhi pengunjung yang mencari bahan makanan. Rak-rak di dalam toko sering kali kosong, dan barang-barang penting seperti beras, minyak, dan makanan kaleng sudah habis. Di pasar-pasar yang masih buka, harga barang pokok melambung tinggi, membuat kami semua kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Semua ini menciptakan rasa ketakutan dan kegelisahan yang tampak jelas di wajah-wajah kami.

Di jalan tempatku tinggal sekarang, ada lorong-lorong di bawah jembatan yang tidak mendapatkan cahaya matahari secara sempurna. Saat ini, pasca gempa, lorong itu menjadi tempat perkumpulan orang-orang yang disatukan oleh nasib yang sedang berkesusahan. Hanya saja lorong itu bukan sebagai pengungsian warga, namun lebih seperti tempat orang jalanan berkumpul. Aku takut melewati daerah itu, sorot mata mereka tidak biasa; tidak cukup ramah untuk bertegur sapa. Entah siapa orang-orang itu, yang jelas semoga aku tidak bersinggungan dengan mereka.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang