Sebuah bencana gempa bumi besar di Bandung memisahkan Leandra dan Revano, sahabat yang dipertemukan takdir sejak kecil. Bersama Kai dan Diandra, mereka menjalani persahabatan yang murni dan polos, hingga perlahan mulai memahami arti cinta.
Bencana...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah aku meninggalkan mereka masuk ke penginapanku tanpa sepatah kata pun, tersisa hanya Kai dan Revano. Keheningan berhembus di udara. Mereka berdua tetap berdiri, tidak ada yang tahu harus memulai dari mana, atau apa yang harus diucapkan. Mereka akhirnya saling bertemu di titik ego masing-masing. Pada akhirnya dua sahabat itu bersinggungan di zona yang bisa membuat chemistry yang telah mereka bangun, hancur dalam semalam.
Kai akhirnya melangkah terlebih dahulu, melepaskan napas panjang dan berjalan menuju pantai. Revano menatap punggungnya yang menjauh, lalu tanpa berkata apa pun ia mengikuti. Mereka berdua akhirnya duduk berdampingan di atas pasir yang dingin itu, membiarkan debur ombak menjadi satu-satunya suara di malam itu.
Mata mereka terarah pada laut yang gelap, Revano mengusap wajahnya dengan kedua tangan, sementara Kai masih menatap ke depan, pandangannya kosong, seperti mengukur jarak antara dirinya dan horizon yang luas.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hingga akhirnya, Kai beranjak dari tempatnya. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya bangkit dan berjalan ke arah warung tenda yang terletak tidak jauh dari pantai. Revano menoleh sedikit, namun tidak berkata apa-apa karena ia terlalu lelah, terlalu penuh dengan pikirannya sendiri yang kian berjejal.
Kai kembali beberapa menit kemudian, membawa dua kaleng bir dingin di tangannya. Tanpa melihat langsung ke arah Revano, dia menyodorkan salah satu kaleng itu. Revano meraihnya tanpa bicara. Mereka hanya saling memberi dan menerima kaleng itu.
Kai duduk kembali di samping Revano, masih dalam keheningan yang dalam dan tenang. Kaleng bir itu dibuka dengan bunyi 'pop' yang memecah kesunyian, namun masih kalah dengan suara desiran ombak Kuta malam itu.
Kai meneguk birnya perlahan, matanya tetap terpaku pada laut yang gelap. Sementara Revano, dengan kaleng bir yang masih tertutup di tangannya, hanya duduk terpaku, seolah kehilangan arah.
Waktu terasa berjalan lambat. Setiap hembusan angin yang menyentuh wajah mereka terasa berat bagi mereka berdua. Meski keduanya duduk di tempat yang sama, mereka tenggelam dalam pikiran mereka sendiri, merenungkan apa yang terlanjur terjadi dan kenapa semua ini bisa berakhir dengan kacau.
Kai akhirnya menghabiskan birnya, lalu melempar kaleng kosong itu ke pasir, tidak peduli di mana ia jatuh. Sementara Revano baru saja membuka kaleng birnya dan menenggaknya perlahan.
Dan di malam itu, dua sahabat yang pernah begitu dekat kini duduk terpisah oleh perasaan asing yang tidak pernah mereka duga akan hadir di antara mereka.
Setelah keduanya menghabiskan kaleng bir mereka, Kai, yang sedari tadi menatap laut akhirnya menarik napas dalam, dan dengan suara yang lembut namun tenang, ia berkata, "Van..pukul gue.."
Revano menoleh dengan tatapan heran, alisnya berkerut. "Maksud lo?" tanyanya, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Kai menatapnya langsung kali ini, lebih tegas, namun masih dengan ketenangan yang sama. "Pukul gue Van.. Kalau itu bisa bikin lo lebih lega. Gue tahu semuanya jadi rumit sekarang. Jadi... pukul aja gue."
Revano hanya menatapnya, bingung dan penuh amarah yang bercampur dengan kebingungan. Ia merasakan sesuatu yang mengganjal di dadanya. Perasaan sesak, tapi ia tidak bisa menggerakkan tangannya. Ada terlalu banyak emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Perlahan, air mata mulai berkumpul di sudut matanya, membuat pandangannya kabur.
Kai melanjutkan, "Ini saatnya gue ngejar Lea, Van. Gue udah nggak bisa lagi mundur. Lo tahu itu. Lo tau gue"
Revano menunduk, mengusap wajahnya. Ia terjebak dalam pikirannya sendiri
"Gue... gue bodoh, Kai," ucapnya dengan suara serak, "Gue selalu punya keterbatasan. Langkah gue pendek, nggak pernah bisa maju jauh. Gue tahu... kalau lo orang yang lebih cocok buat jaga Lea.. Lo lebih baik daripada gue. Tapi tetep aja, gue nggak bisa nahan rasa ini.. Gue masih... dan akan selalu mikirin dia."
Ada getaran dalam suaranya, tanda jelas bahwa dirinya mengakui kekalahan dalam pertarungan yang bahkan belum selesai. Kai tidak berkata apa-apa untuk sesaat, membiarkan Revano meluapkan isi hatinya. Namun Revano tidak berkata apapun lagi.
"Van," kata Kai akhirnya, suaranya tenang namun penuh makna. "Lo orang baik. Lo selalu punya hati yang besar. Lo adalah sahabat pertama gue, orang yang selalu ada sejak kita di sekolah. Kita berjuang bareng-bareng waktu itu, di tempat yang dingin, keras. Tapi, lo tahu, Van... lo selalu pusing sendiri. Lo sering kebingungan sama sifat lo yang labil. Lo nggak pernah bisa ambil keputusan cepat, dan kalau lo udah ngambil keputusan, lo gak bisa terima konsekuensi yang datang setelahnya."
Revano terdiam, meresapi kata-kata itu. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Kai seperti menohok tepat di hatinya, menguak segala ketidakpastian dan ketidakmampuannya untuk membuat pilihan tegas dalam hidup.
Kai melanjutkan, "Hidup ini kayak main basket, Van. Lo harus fair dalam setiap pertandingan. Nggak ada jalan pintas buat menang. Kadang lo kalah, kadang lo menang. Tapi yang paling penting adalah, lo harus terima konsekuensinya, apapun itu. Sama kayak waktu lo main di lapangan, kalau lo nggak bisa nge-handle tekanan, lo bakal ketinggalan. Dan sekarang... ini konsekuensi lo. Lo nggak bisa terus-terusan ragu, terus-terusan takut bikin keputusan."
Revano terdiam, Kai memandangnya dengan penuh pengertian, "Gue minta maaf, Van," katanya dengan tulus. "Gue nggak pernah berniat buat ngerebut apa yang jadi milik lo. Tapi gue juga nggak bisa lagi pura-pura nggak punya perasaan sama Lea.. Gue udah lama memendam ini, dan gue nggak bisa terus-terusan begini. Jadi... gue minta lo buat melepaskan dia, karnaposisilosekarangudahsama Diandra"
Revano mengusap kepalanya, menahan semua perasaan yang memuncak. Mereka berdua duduk dalam keheningan lagi.
Revano menarik napas panjang, menatap kosong ke laut, "Gue ngerti, Kai. Gue ngerti."
Setelah hening yang terasa abadi, Revano perlahan bangkit dari duduknya. Dengan napas berat, ia menatap Kai yang masih duduk di pasir, wajahnya sedikit suram, tapi tekadnya sudah bulat. Tanpa sepatah kata, Revano mengulurkan tangan, menawarkan bantuan untuk Kai berdiri.
Kai menatap tangan itu sejenak, menyadari makna yang lebih dalam di balik gerakan sederhana tersebut. Perlahan, ia meraih tangan Revano dan bangkit. Namun, saat Kai sudah berdiri tegak, tanpa peringatan, Revano mengayunkan tinjunya dengan keras, tepat menghantam rahang Kai.
Kai tersungkur jatuh ke pasir, tubuhnya terhempas. Ia terdiam sejenak, merasakan sakit yang menjalar di wajahnya, lalu perlahan tertawa dengan getir. "Sialan! Sakit, brengsek!" katanya dengan nada sinis, sembari mengusap rahangnya yang memar.
Namun, meski rasa sakit masih berdenyut, Kai bangkit kembali, tanpa ragu, ia merangkul Revano, menarik tangannya dengan erat.
"Akhirnya lo mukul gue juga, brengsek!" ucap Kai dengan suara yang sedikit serak, masih mencoba menahan rasa sakit.
Revano tertawa kecil, Ia merasakan beban yang sedikit terangkat dari dadanya setelah pukulan itu, tapi rasa bersalah dan sakit hati masih menghantuinya.
"Inget, locumansementaraKai! Guebakalbaliklagi!" Ujarnya dengan suara berat disertai senyuman sinis. Kai pun merangkulnya sembari menatap jauh ke ujung lautan gelap.