BAB 34 - LANGKAH KEMBALI KE IBU KOTA

11 3 0
                                    

"Jejak langkah yang kau tinggalMendewasakan hatikuJejak langkah yang kau tinggalTakkan pernah hilang selalu, begitulah cintaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jejak langkah yang kau tinggal
Mendewasakan hatiku
Jejak langkah yang kau tinggal
Takkan pernah hilang selalu,
begitulah cintaku

Walau kau hanya singgah
Sekejap di cinta tulus ini
Tapi sangatlah berharga
Jadi kenangan yang aku banggakan
Maka bagiku cinta adalah harta
yang kusimpan"

Glenn Fredly & Tohpati -
Jejak Langkah Yang Kau Tinggal

***

Hari ini adalah kepulanganku dari Simbaraya. Sepanjang perjalanan, kepalaku masih penuh dengan ingatan tentang desa-desa terdampak oleh letusan Gunung Langkara. Perjalanan bersama para relawan, teman-temanku, terasa singkat, tidak seperti perjalanan berangkat nya, karena nyaris tidak ada suara. Entah karena kami kelelahan, ataukah beban di pundak kami akhirnya berakhir, atau malah kami yang sebenarnya enggan untuk pulang karena menyisakan perasaan bersalah yang dalam, dimana mungkin aku akan kembali tidur ke ranjang hangatku dan memasak makanan yang hangat dirumah tanpa abu vulkanik yang beterbangan.

Kami masih menaiki truk tentara berwarna hijau yang kini sudah tidak membawa banyak barang dan makanan, menyisakan kekosongan yang pilu di kabinnya. Banyak relawan yang hanya melamun dan tertidur. Jarang sekali diantara kami ada yang mengobrol sambil tertawa seperti pada saat keberangkatan. Aku, Mega, dan Upay duduk berdekatan. Kami memilih duduk di bawah sambil melihat pintu bak mobil truk belakang yang terbuka dan memperlihatkan pemandangan jalanan seperti sebuah kilas balik pengalaman dalam beberapa hari ini. Di sepanjang jalan menuju Jakarta pun aku hanya terdiam. Biasanya aku mengobrol dengan Mega atau Upay, tapi ini tidak. Upay kelelahan dan tertidur. Sementara Mega, dia seperti aku; menatap jalanan, mungkin mengingat juga wajah-wajah pengungsi yang masih terukir jelas dalam pikiran.

Mereka; para pengungsi itu, kehilangan segalanya, baik itu rumah, harta, bahkan beberapa di antaranya kehilangan keluarga mereka. Total korban jiwa dalam bencana Langkara ini, kini berjumlah 4200 orang yang diakibatkan oleh gempa yang mengguncang sebelum erupsi dengan kekuatan 5.9 SR di Simbaraya dan sekitarnya dan karena awan panas atau wedhus gembel yang turun ke rumah warga yang tinggal dekat dengan lereng gunung. Getaran dari gempanya kala itu terasa hingga Bandung, namun aku tidak merasakannya di Jakarta. Aku hanya mendengar di berita televisi. Dengan total pengungsi 72.000 yang tersebar di seluruh kota Simbaraya dan sekitarnya, Gunung Langkara mencetak rekor erupsi terbesar dalam sejarah Gunung Api Indonesia. Untunglah mitigasi bencana sudah membaik seiring tahun berlalu.

Truk pleton ini melaju pelan, membelah jalanan yang masih diselimuti debu vulkanik. Aku masih harus mengganti maskerku dalam waktu enam jam sekali, atau saat debunya sudah terlalu banyak menempel. Pandangan mataku terus tertuju keluar bak belakang pintu truk; ke jalanan, ke arah langit yang saat ini tampak begitu asing. Sampailah kami di kota Jakarta yang biasanya ramai dan penuh aktivitas kini terkesan lebih sunyi. Kendaraan yang melaju sedikit sekali, seperti semua orang mencari perlindungan di rumah masing-masing, di rumah yang hangat bersama orang terkasih. Langit yang dulu biru itu kini masih berwarna kelabu.

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang