BAB 3 - SEVEN TO FIVE

32 11 2
                                    

"And what it all comes down to
Is that I haven't got it all
figured out just yet
'Cause I've got one hand in my pocket
And the other one is flickin' a cigarette"

Alanis Morisette - Hand In My Pocket

***

"Leandra kaluna! bangun! mau tidur sampe jam berapa? Airnya keburu dingin, mama ga mau anak perempuan pemalas"

Suara ibuku yang lantang tidak seperti kelihatan dari wajahnya bahwa dia punya suara yang senyaring itu bunyinya. Orang lain yang melihat pasti mengira ibuku lembut sekali dan menganggap ia adalah tipikal ibu rumah tangga yang cekatan mengurus keluarga. Memang cekatan, tapi mereka belum pernah merasakan rasanya cabai tua masuk ke dalam mulutnya tanpa nasi dan lauk bila aku berbicara kasar.

"Sekali lagi ngomong kasar, mama sumpel mulutnya pake cabe!"

"Berisik! jangan nangis atau mama tambahin lagi cabenya biar kamu nurut!"

Ibuku ini memang tau sekali cara menghadapi anak kritis dan memiliki jiwa bebas seperti aku, kerap sekali ia membuatku seperti kecil dan kerdil di hadapannya.

Ngomong-ngomong, ibuku adalah kepala bagian di salah satu perusahaan asuransi. Sangat pandai menghitung satu gepok uang dengan tangan cepat seperti teller bank. Yah mungkin karena dulu ia latihan berbulan-bulan dulu. Kedua orang tuaku adalah pegawai pekerja keras. Ibuku orang yang terampil dan tangguh. Setiap gerakannya dihitung dengan presisi, baik dalam pekerjaan maupun caranya mendisiplinkan anak urakan seperti aku.

Jam kerja seven-to-five membuatku hampir tak pernah melihat orang tuaku di hari-hari biasa. Pagi-pagi, pukul tujuh, mereka sudah keluar rumah, dan baru kembali pukul lima, atau bahkan lebih larut. Ayahku seringkali pulang lebih dahulu, jam 5 sore ia tiba dirumah disambut pelukan kecil tanganku yang melingkar di perut buncitnya.

Kalau ibuku, sering kali aku harus menunggu sampai jam tujuh malam hanya untuk melihat wajahnya lagi atau menyantap makanan fast food yang ia bawa kerumah sebagai oleh-oleh sepulang bekerja.

Ya, dibutuhkan waktu 2 jam selepas ibuku pulang kantor hingga sampai dirumah.

Aku tidak kesepian dirumah karena ada tanteku dan anaknya yang seusia denganku, dia lah yang masak untuk kami setiap hari. Selama hari-hari itu, aku harus mengandalkan tanteku, yang sejujurnya aku tidak pernah merasa dia seperti pengganti ibu. Tanteku yang memasak, tanteku yang mengatur segalanya di rumah, termasuk memastikan aku patuh. Aku harus makan tepat waktu, menghabiskan semua makanan, dan tidak boleh meminta apa pun yang berlebihan.

Semua keinginanku harus disimpan untuk akhir pekan, saat kedua orang tuaku ada di rumah. Aku hanya boleh meminta makanan atau barang saat mereka hadir, seolah-olah keinginanku hanya layak didengar ketika mereka punya waktu luang atau nanti saat jam 7 malam selepas ibuku sampai rumah.

Tidak seperti yang kulihat di keluarga lain. Tidak ada pelukan hangat dari tanteku dan ibuku atau pujian-pujian. Yang ada justru cubitan-cubitan kecil di paha dan tanganku saat aku berbuat salah sedikit saja. Seperti melawan omongannya, terlambat makan, tidak menghabiskan makanan, terlambat pulang, dan lainnya.

Cubitannya mungkin kecil namun bisa membuat kulitku sering kali membiru. Dibutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk membuat warna birunya menjadi hijau, menguning, hingga kembali ke warna asli kulitku. Aku masih ingat ketika bersembunyi di kolong kursi, menahan napas, berharap sapu ijuk atau sapu lidi di tangannya tidak menghampiri tubuhku yang kecil itu.

Pukulan sapu lidi itu menyakitkan meskipun hanya satu helai, terasa seperti serpihan api yang membakar kulitku. Aku lebih baik dipukul dengan satu gepok sapu lidi ketimbang hanya sehelai. Dan itu semua dilakukan hanya karena aku membalas keisengan sepupuku dan bertengkar dengannya.

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang