BAB 13 - KEGELISAHAN DI UDARA

22 8 2
                                    

Bandung, April 2000

"Rasa ini.. Begitu menyesakkan! Sial! Aku benci Revano! Aku benci!"

Pikiranku mendadak dipenuhi berbagai pertanyaan sambil terus berlari menjauh dari mereka berdua sembari menahan titik-titik air di mataku yang hampir jatuh membasahi pipiku.

"Apa mereka punya hubungan lebih dari sekedar teman? Dan kenapa Revano tidak pernah cerita apapun soal Diandra?" Ucapku dalam hati, yang rasanya kini seperti ada hantaman yang mendinginkan sekujur tubuhku.

Perutku mulas dan ada rasa mual, apakah asam lambungku memang sedang naik karena belum makan? ataukah ini perasaan lain yang dihasilkan dari serotonin otak yang memulai proses kimiawinya ke saraf vagusku?

Aku merasa dadaku semakin sesak, perasaan campur aduk antara marah, kecewa dan bingung. Tanpa sadar, aku terus berlari cepat menjauh dari area panggung.

Aku tidak ingin ada yang melihat air mataku yang mulai menggenang di pelupuk mata ini. Hatiku begitu kacau..

Ketika aku berlari keluar, dengan cerobohnya tiba-tiba tubuhku menyenggol papan banner vertikal besar yang dipajang di samping sebuah pintu masuk. Aku teralihkan sesaat dengan refleks dan segera membalik badanku dan terjongkok, papan itu bergoyang dan dalam hitungan detik, stand makanan yang ada di sampingnya pun ikut goyang dan hampir ambruk. Aku tersentak benar-benar terkejut

"Awaaasss! Papan!!" Aku panik, namun, sebelum semuanya benar-benar jatuh, sepasang tangan yang kuat dengan cepat menahan papan reklame dan stand makanan.

"Hey, hati-hati," suara seorang laki-laki terdengar, rendah dan penuh ketenangan. Aku yang tadi terjongkok menahan papan lalu mendongak keatas, melihat siapa yang baru saja menyelamatkan situasi kacau ini.

Di atasku, berdiri seorang pria yang kuingat pernah kulihat saat demo basket tahun lalu dengan nomor punggung 13. Dia satu team dengan Revano.

Mata kami bertemu sesaat. Aku masih terengah-engah, jantungku berdegup kencang, bukan hanya karena panik, tetapi juga karena perasaan aneh yang muncul tiba-tiba. Lelaki itu menatapku dengan senyum lembut di wajahnya.

"Nggak apa-apa, kok. Semua orang emang bisa ceroboh kadang-kadang," katanya sambil menegakkan kembali papan reklame yang nyaris jatuh. "Yang penting kamu nggak kenapa-napa yah"

Aku terdiam sejenak. Wajahku masih terasa panas.

"Makasih ya, maafin aku kak" jawabku dengan suara pelan. Aku merasa malu karena begitu ceroboh, tapi sekaligus berterima kasih karena lelaki itu menyelamatkan situasi yang harusnya kacau.

Lelaki itu tersenyum, lalu menatapku dengan lebih dalam.

"Kayaknya kamu nggak kelihatan kayak tipe orang yang ceroboh deh. Emang kamu lagi buru-buru banget, ya?" Ucapnya tersenyum dan terlihat barisan giginya yang rapih. Suaranya lembut dengan canda nya menyapa persis dihadapan wajahku.

Aku mengangguk cepat, tanpa bisa menyembunyikan kegelisahan dalam diriku.

"Iya kak, maaf..aku... aku cuma pengen keluar sebentar, tadinya.." Jawabku sedikit menutupi kondisi asliku.

Lelaki itu tersenyum lagi. "Iya, nggak apa-apa. Kenalin..aku Kai" Jawabnya sambil mengulurkan tangan padaku yang masih terjongkok di bawah dekat papan reklame itu.

Aku meraih tangannya dan berdiri, meski masih merasa gugup aku menjawab. "Aku Lea, kak. Makasih"

 Makasih"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang