BAB 14 - HIDE AND SEEK

24 8 0
                                    

Bandung, 12 Maret 1996

Revano kecil kala itu menyeringai sambil memandangku, "Le, ayo main petak umpet. Aku jamin kamu nggak bisa nemuin aku!"

"Apa sih La Le La Le, emang aku lele?!"

"Hahaha iya Lea, yuk main yuk! Bosen nih!" Ucapnya penuh antusias

Aku menatap mata besarnya sebentar, lalu menjawab dengan wajah datar, "Oke, tapi jangan ngumpet di tempat yang aneh-aneh ya"

Revano tertawa kecil, penuh percaya diri. "Kamu pasti gak bisa nemuin aku!"

"Liat aja nanti, jangan sombong!" Ucapku mendengus

Bagi orang lain, mungkin ini cuma permainan biasa. Tapi bagi kami berdua, petak umpet selalu punya makna yang lebih dalam. Berlari menuju kesunyian dan saling menemukan satu sama lain.

Sejak kecil, kami sering berlarian di antara nisan-nisan kuburan Belanda yang sunyi itu, di mana keheningan selalu terasa hangat dan menyenangkan. Revano biasanya bersembunyi di balik pohon tua atau nisan berlumut, atau tempat kotor yang sepertinya tidak mungkin aku kesana karena dia tahu aku benci kotor.

Tapi aku, saat permainan ini dimulai, jiwa detektifku yang terpendam seolah bangkit dan tersulut. Aku lebih mahir mencari dari pada dirinya, dan aku lebih mahir bersembunyi darinya. Bisa dihitung jari berapa kali Revano berhasil menemukan tempat persembunyianku yang selalu berbeda dari permainan sebelumnya. Ya, aku selalu punya tempat sembunyi yang tidak terduga.

Aku pernah menyelip di balik pintu besi dari sebuah nisan mewah yang nyaris tak terlihat, bahkan di balik kain yang menggantung dari cabang pohon, atau menyelinap masuk ke sela-sela batu nisan sambil berbaring menghela nafas dan menutup mata. Pernah juga aku bersembunyi di dalam ruangan menyeramkan yang gelap di kuburan dengan design bangunan italia itu. Aku hanya duduk memeluk lututku sendiri menundukan kepala mengenai lututku, dan bernafas tenang seolah aku ingin tidur saja, sehingga nafasku stabil dan tidak mengeluarkan suara.

Aku bukan sekadar bersembunyi dari pandangan Revano, namun aku juga bersembunyi dari diriku sendiri, dari apapun yang sulit untuk diungkapkan.

Hari itu, setelah Revano mulai menghitung, aku menyelinap dengan gerakan yang tenang namun pasti. Kali ini aku tidak mencari tempat persembunyian yang ekstrem seperti sebelumnya. Aku hanya diam di sebuah sudut sederhana, di bawah sebuah jendela gedung pos tua, di mana suara angin selalu terdengar samar di sana.

Aku hanya duduk dan diam, namun mataku mengawasi bayangan Revano yang mulai mencari. Anehnya pikiran ku saat itu mengembara. Jika melihat pada kondisi hari ini saat kami beranjak remaja, permainan ini seolah menjadi metafora aneh bagi hubungan persahabatan kami yang kini terasa asing dan canggung.

Ada sesuatu yang jauh lebih sulit ditemukan oleh Revano saat ini yaitu perasaanku yang sebenarnya.

Dan mungkin, aku pun sengaja bersembunyi. Kali ini bukan karena Revano tidak bisa menemukan ku, tapi karena aku sendiri merasa belum siap untuk ditemukan.

Aku.. hanya butuh lebih banyak waktu.

 hanya butuh lebih banyak waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang