BAB 25 - DIMANA KAMU?

9 5 0
                                    

Di bulan Januari ini, tahun 2003, kami dipaksa dewasa oleh keadaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di bulan Januari ini, tahun 2003, kami dipaksa dewasa oleh keadaan. Salah satu titik di peta dunia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Pada hari itu, tangis pun tidak membantu apa-apa, hanya sekedar mengosongkan rasa sesak di dada yang tak kunjung kosong. Kami bersatu dalam kemanusiaan, berdiri tegak meski rapuh dengan kaki yang bergetar hebat. Kala itu, siaran di televisi dan radio nasional mengetuk kecil pintu dunia di tengah aktivitasnya yang ceria.

Hari itu, seolah-olah suara riuh kendaraan dan tawa di jalanan terhenti sejenak. Wajah-wajah yang biasanya penuh kegembiraan mendadak diliputi kecemasan dan tangisan yang menyesakkan. Dunia yang biasanya begitu sibuk, tiba-tiba terdiam sejenak, terpaku pada layar yang menyampaikan kabar pilu dari pelosok negeri. Rasa pedih meresap ke setiap sudut hati kami, tetapi sudah tidak ada waktu untuk meratap terlalu lama. Kami harus bergerak, harus saling menguatkan, meski tidak ada yang tahu sampai kapan kekuatan itu bisa bertahan.

Disini kami berdiri, bukan karena kami kuat, tetapi karena tidak ada pilihan lain selain itu. Kami menjadi saksi bahwa di balik setiap duka, ada secercah harapan seperti sebuah api kecil yang ingin tetap hidup. Dunia terus berputar, tapi di hati kami, momen itu akan selamanya membekas.

***

Aku dan Kai berdiri di depan gerbang sekolah yang hancur, memandang jalanan yang penuh dengan puing-puing dan retakan jalan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku dan Kai berdiri di depan gerbang sekolah yang hancur, memandang jalanan yang penuh dengan puing-puing dan retakan jalan. Angin malam mulai menyapu debu yang tersisa, dan kegelapan semakin menyelimuti kota yang mendadak mati. Setelah apa yang kami alami bersama, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami harus berpisah sementara untuk kembali ke rumah masing-masing.

Aku menghela napas dalam-dalam, wajahku menunjukkan kekhawatiran dan kelelahan.

"Kai, kita harus pulang... Aku gak tahu gimana kabar keluargaku sekarang, mungkin orang tuaku sudah harusnya sampai dirumah.. dan.. Revano, Kai.." Aku terisak

Kai menatapku, merasakan beban yang sama.

"Aku juga khawatir, Lea. Pamanku tinggal gak jauh dari sini. Aku akan coba ke rumahnya.. Kalau dia selamat, mungkin dia bisa bantu. Tapi aku bener-bener gak yakin gimana caranya kita bisa ngabarin keluarga. Gak ada sinyal, telepon umum entah masih ada atau nggak."

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang