BAB 36 - KRISIS DAN HARAPAN

15 4 0
                                    

Jakarta, 30 Agustus 2008

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, 30 Agustus 2008

Aku pernah membaca tentang krisis sosial-politik di negara lain, tapi tidak pernah terbayang kalau situasi ini akan terjadi di negeri sendiri. Awal Januari 2008, suasana kampus kami mulai terasa mencekam. Banyak mahasiswa yang cemas tentang nasib akademis mereka, terutama sejak kampus memberlakukan kebijakan WFH 'Work From Home' demi keamanan. Sebagian besar kelas dipindahkan ke online, dan banyak yang merasa kehilangan arah.

Sementara itu, para aktivis mahasiswa mengajukan tuntutan agar sidang dan wisuda darurat tetap diadakan meski dalam kondisi krisis. Setelah negosiasi yang cukup panjang, akhirnya pihak kampus mengumumkan bahwa sidang skripsi darurat akan dilaksanakan pada bulan Maret, diikuti dengan wisuda darurat pada bulan April. Meskipun sederhana, tetap ada prosesi pemanggilan nama dan penyerahan ijazah.

Di kota-kota besar lainnya, situasi juga tidak kalah panas. Seperti di Girsang, demonstrasi besar di depan kantor gubernur berujung bentrok. Massa melemparkan batu dan bom molotov ke arah polisi yang mencoba membubarkan mereka. Beberapa kendaraan polisi dibakar, dan keadaan berubah menjadi kacau. Di Marassa, sebuah truk bantuan dicegat dan dirampok oleh orang-orang yang kelaparan. Petugas keamanan tidak dapat berbuat banyak saat massa yang marah menerobos dan merebut kantong-kantong berisi beras, minyak, dan mi instan.

Rumah sakit di Jakarta dan kota-kota besar lainnya sempat kewalahan menghadapi banyaknya korban yang terus berdatangan. Selain luka-luka akibat bentrokan, banyak juga yang mengalami sesak napas tanpa penyebab yang jelas. Hingga saat ini penyebab sesak napas itu pun belum diketahui penyebabnya. Di salah satu rumah sakit besar di Jakarta Pusat pun, pasien-pasien terpaksa ditolak karena bangsal dan unit gawat darurat sudah penuh. Di luar, antrian panjang orang-orang yang putus asa menunggu giliran untuk dirawat, sebagian dari mereka duduk di trotoar.

Semua kekacauan ini berlangsung sejak Desember 2007 hingga pertengahan 2008. Meski kondisinya perlahan-lahan membaik, krisis masih jauh dari kata selesai. Pemerintah akhirnya menetapkan status darurat nasional, bukan hanya karena bencana alam yang menghantam, tapi juga akibat krisis pangan dan kerusuhan yang meledak di berbagai kota. Itu berarti pemerintah punya wewenang lebih besar untuk menggerakkan sumber daya, melibatkan militer, polisi, dan lembaga bantuan kemanusiaan.

Hasil nyata yang pemerintah lakukan adalah, Badan Penanggulangan Bencana langsung turun tangan memimpin tanggap darurat di wilayah-wilayah terdampak bencana. Situasi darurat yang tengah dialami akhirnya membuat pemerintah pun tidak ragu meminta bantuan dari negara tetangga, PBB, Palang Merah, dan ASEAN. Wilayah-wilayah yang rawan kerusuhan juga diamankan oleh sejumlah besar TNI dan Polri. Mereka berusaha mencegah penjarahan dan menjaga infrastruktur vital seperti bandara, pelabuhan, dan pusat distribusi pangan tetap aman.

Sejak April 2008, ada satu perubahan besar dalam kehidupan kami, yaitu jam malam. Di atas jam sembilan malam, jalanan di beberapa kota besar berubah menjadi sunyi, hampir tidak ada yang berani keluar rumah. Tentara patroli di mana-mana, melakukan sweeping untuk memastikan tidak ada yang berkeliaran. Tujuannya jelas, untuk mengurangi pergerakan massa di malam hari, mencegah vandalisme, dan menghentikan penjarahan yang bisa pecah kapan saja. Namun pernah juga ada dua lelaki tua sedang berjalan malam hari saat tentara melakukan sweeping, akhirnya berujung bentrok karena mereka tidak merasa bersalah dan mengaku hanya ingin mencari angin. Lelaki tua itu terluka di bagian wajah karena tersungkur ke sebuah kursi besi di pinggir jalan. Kejadian itu persis di bawah apartemenku. Aku dan Mega kala itu melihat langsung kejadiannya dari lantai 5 ini.

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang