BAB 37 - PARALOG (GEN KEMBAR)

16 3 0
                                    

"Apakah mentari esok pagi akan terbit dengan sinar terang lembut? Atau terselubung mendung, meneteskan rintik hujan yang panjang?Hari esok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apakah mentari esok pagi akan terbit dengan sinar terang lembut? Atau terselubung mendung, meneteskan rintik hujan yang panjang?
Hari esok..
Memang terkadang datang sebagai harapan, kadang menghancurkan sebuah impian"

***

Aku duduk di sebuah kafe kecil yang penuh kenangan. Aroma kopi bercampur menjadi satu dengan rumput basah di luar jendela, membawa memori lama yang sudah lama aku simpan rapat-rapat. Tiba-tiba, sebuah suara yang begitu ku kenal mengusik ketenanganku.

"Hi, Leandra Kaluna, ternyata kamu masih suka teh melati?"

Revano muncul dengan senyum sarkas yang khas, sambil berjalan mendekatiku. Matanya menyapu meja, lalu berhenti pada es kopi susu gula aren yang sudah ku pesan.

Aku menatapnya dengan rasa tidak percaya. Seakan seluruh dunia terhenti, hanya ada kami berdua di ruang ini.

"Kalau kamu... masih suka nyebelin? Masih tahu bedanya teh sama kopi, kan?"

Aku mencoba membalas nada sarkasnya yang sengaja menyebut es kopi susu menjadi teh melati kesukaanku, meskipun hatiku berdegup kencang. Suara Revano, cara ia tersenyum, masih sama seperti yang ku ingat. Revano tertawa kecil, suaranya masih sanggup membuatku merasa aman, seolah tidak ada waktu yang berlalu di antara kami.

"Gimana aku bisa lupa, Lea? Kalo soal kamu, aku jago mengingatnya! Gimana kalo kamu jadi monyet dulu? 3 detik aja. Supaya aku gak malu mau bilang rindu" ucapnya terkekeh sembari menatapku.

Aku tertawa kecil, karakternya masih sama. Lembut namun jenaka. Kami lalu berbincang seolah waktu tak pernah memisahkan. Tentang hidup, mimpi, dan bagaimana dunia membawa kami ke jalan yang berbeda. Semua terasa begitu alami, begitu nyata. Seolah tidak ada perpisahan yang pernah terjadi.

"Lea, kamu udah gede, ya..." ucap Revano pelan, menatapku dengan sedikit canggung. Ada senyum malu di wajahnya, sesuatu yang membuat aku merasa kembali ke masa-masa lalu kami.

Namun sebelum aku sempat menjawabnya, pandanganku seperti kabur, badanku dingin dan semuanya nampak memudar. Kafe itu, wajah Revano, suara tawa kami, semuanya perlahan menghilang dalam kabut tebal. Diiringi suara dentuman keras di udara dengan cahaya kehijauan, bumi tempatku berpijak seketika berderak keras dan runtuh ke sebuah lubang hitam yang tidak berdasar.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang