BAB 42 - TITIK LETAL : WABAH DAN TSUNAMI

8 3 0
                                    

Ciptabumi, 9 Maret 2009

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ciptabumi, 9 Maret 2009

Malam itu, hujan turun deras di luar rumah isolasi. Suara gemericik air bercampur dengan udara dingin yang menusuk. Aku dan Revano bekerja sama dengan sangat hati-hati sejak pagi untuk merawat pasien yang terinfeksi. Kami sadar betapa berbahayanya virus yang sedang kami hadapi, jadi setiap tindakan dilakukan dengan sangat hati-hati. Aku dan Revano menjaga kondisi tubuh kami dengan meminum semua suplemen dan imun booster dari Diandra dan Kai.

Bagas—pasien yang kami rawat ini berusia 19 tahun, ia adalah seorang anak yatim piatu yang dibesarkan oleh pamannya di desa Ciptabumi. Ia terinfeksi virus Hemodrastis-7 setelah pulang dari kota, kemungkinan tertular pada saat magang di pabrik manufaktur. Kondisinya diperparah oleh penyakit asma bawaannya. Paru-parunya yang sudah rentan mengalami kerusakan lebih parah akibat infeksi, yang menyebabkan sesak napas berat dan batuk berdarah. Meskipun masih muda, kombinasi antara virus dan penyakit bawaan membuat kondisi Bagas semakin kritis.

Setiap kali kami masuk ke kamar Bagas, kami terlebih dahulu mengganti pakaian pelindung—jas hujan yang sudah terpapar. Karena situasinya darurat, kami mengenakan jas hujan sebagai APD. Aku pun selalu membawa baju pelindung cadangan, sementara Revano memastikan bahwa setiap lapisan masker kami terpasang dengan benar. Setiap kali Bagas batuk saat aku sedang di dalam, dengan sigap kusemprotkan disinfektan ke udara, menggunakan botol semprot yang selalu aku genggam erat.

Saat Bagas mulai batuk atau muntah darah, aku langsung menyemprotkan alkohol di sekitar area yang terpaparnya agar virusnya mati.

“Wah, cenayang juga si nenek sihir itu! Bisa-bisanya dia nyuruh aku bawa alkohol satu liter dan kepake" ujarku pada Revano cekikikan.

Revano yang sedang menutupi mulut dan hidung pasien dengan kain katun untuk mencegah percikan virus menyebar lebih jauh, tertawa mendengar kelakarku tentang Diandra.

Kami bekerja dalam tim yang solid. Kami selalu memastikan bahwa setiap peralatan yang kami sentuh disterilkan sebelum digunakan kembali dan membiasakan diri untuk tidak menyentuh area wajah kami selama bekerja.

Ketika kami selesai melakukan tindakan seperti membersihkan sisa darah dan lainnya, kami bergantian menyemprotkan disinfektan pada satu sama lain, membersihkan baju pelindung yang sudah dipakai sebelum melepaskannya. Aku pun selalu mengecek kondisiku dan Revano dengan mengukur suhu tubuh kami dan memperhatikan gejala-gejala yang mungkin muncul.

Dalam keheningan ruangan yang terisolasi, saat aku sedang beristirahat duduk disamping Revano,  dia bertanya, “Kita nggak bakal kenapa-kenapa kan, Lea?”

Aku mengangguk yakin. “Kita kan udah lakuin semua protokol dengan benar. Mudah-mudahan kita gak papa ya, Rev. Tetap cek berkala aja kondisi kita"

Aku dan Revano menjalani keseharian dengan baik, segalanya berjalan dengan lancar. Warga disini baik sekali, ada banyak makanan yang diantar ke tempat kami dan disimpan di balkon, yaitu makan pagi, siang, malam, buah-buahan dan camilan, serta teh hangat dan kopi. Alat makan bekas yang kami gunakan di sterilkan dahulu oleh mereka dan lalu dibawa kembali untuk dicuci. Kami tidur secara bergantian karena tetap harus ada yang berjaga.

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang