BAB 40 - KAMI ADALAH JURNALIS

9 2 0
                                    

Ciptabumi, 7 Maret 2009

Aku berhenti mendadak di tengah langkahku. Bukan karena gravitasi, kali ini. Aku benar-benar terkejut melihat sosok yang sangat kukenal itu. Seolah dunia di sekitarku menghilang, debu-debu kayu terbakar yang beterbangan itu, suara percikan api yang sedang berusaha dipadamkan warga sekitar, suara keributan warga, lenyap begitu saja. Di antara kerumunan, aku melihatnya—Revano, berdiri dengan mata terkejut. Dia terpaku seolah merasakan ketidakberdayaan itu—dalam mengenali perbedaan realitas dan sebuah ilusi.

Waktu terasa melambat. Aku menahan napasku. Apakah itu benar-benar dia? Seketika aku mengikuti naluriku untuk berlari. Tubuhku seolah bergerak dengan keinginannya sendiri—berlari menerobos kerumunan. Mataku yang sejak tadi mulai basah, namun kali ini bukanlah air mata pilu.

Revano terus melihatku dengan wajah kaget, wajahnya berubah. Matanya membesar sesaat lalu kemudian dipenuhi kehangatan yang tak terucap. Ia melangkah cepat ke arahku, tak ragu. Dalam hitungan detik, aku sudah dalam pelukannya.

"Rev?!.. Revano...?!" suaraku pecah dalam isak tangis yang tertahan. Air mataku mengalir tanpa bisa dihentikan. Segala beban, segala ketakutan, dan sebuah harapan yang tak berkesudahan sejak beberapa saat lalu seakan meleleh dalam pelukannya. "Kamu masih hidup?! Kamu selamaat... Rev! Syukurlah! beneeeerrr... kamu masih... ada disini... " ucapanku melanjutkan dengan terbata dan parau.

"Lea?! Ini... bener... Leaku?" Revano memelukku erat, aku bisa merasakan getaran di tubuhnya sembari menangis di dadanya. "Sshh.. Aku.. di sini, Lea," bisiknya dengan suara serak dan menangis. "Aku di sini."

Seketika aku menarik diri dengan napas terengah-engah, wajahku masih dibasahi air mata. Aku menatap Revano, seakan tidak percaya. Tanganku yang gemetar menyentuh setiap lengkung wajahnya, memeriksa setiap detailnya, memastikan bahwa ini bukan bayangan yang kuciptakan oleh harapan atau ketakutan di dunia mimpiku.

"Ini beneran kamu, kan?" tanyaku lirih dan bergetar.

Revano mengangguk, senyumnya samar dibalik kegelapan malam, cahaya temaram dari lampu minyak warga desa dan sisa kilatan api yang menyala dari rumah yang terbakar. Namun jelas di balik debu dan sisa tanah yang menempel di wajahnya. Wajah itu tampak berbeda dari yang terakhir kali kuingat—lebih tegas, lebih dewasa, dan lebih tampan dari yang pernah aku bayangkan. Matanya, meski dipenuhi kelelahan, memancarkan ketenangan dan kebebasan yang selalu aku rindukan.

Aku mengusap air mataku, seketika aku merasa hampir tertawa di tengah segala emosi yang berkecamuk ini. "Kamu... kamu berubah yah."

Revano tertawa kecil, senyuman yang sama seperti dulu, namun dengan sentuhan yang lebih dalam. "Kamu juga, Lea! Udah gede ya, kamu.." ucapnya sembari mencubit pipi kiri dan kananku dengan tangannya yang juga berubah menjadi semakin besar. Wajahnya masih basah dengan air mata.

Sekali lagi, tanpa ragu, aku mendekapnya. Kali ini, pelukan itu lebih erat dan lebih dalam, bedanya kini, entah mengapa aku seolah sudah tidak memiliki rasa malu seperti bertahun silam. Aku kini tidak peduli. Kami berdiri disana ditengah kekacauan yang terjadi, saat warga sedang berusaha memadamkan api, namun waktu seperti berhenti disitu.

"Kita bantu dulu yuk, Lea. Nanti kita ngobrol" ucapnya nyengir seperti biasa sambil melepaskan pelukanku. Lantas ia bergegas menggenggam tanganku dan menariknya ke arah kerumunan warga untuk membantu. Aku hanya bisa mengangguk, sedikit tertawa kecil seolah aku lupa segala kehilanganku bertahun-tahun ini, seolah mimpi buruk itu baru terjadi di hari kemarin.

Aku mengikutinya menembus kerumunan, menyalurkan energi dan semangat warga yang berusaha memadamkan api. Di antara suara teriakan dan dentingan ember, aku merasakan kebersamaan yang hangat. Beberapa warga membantu mengobati Revano. Sementara itu, aku melihat Kak Galang melangkah ke arahku, wajahnya tegang dan penuh kekhawatiran.

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang