BAB 2 - TIGA DETIK BERHARGA

40 11 0
                                    

Seandainya sahabatku dari luar angkasa
apa yang terjadi oh mungkinkah
Sejenak bintang utara bermain dengan air
mengitari planet saturnus bersama sama

Kata kata yang indah tidaklah perlu
sungguh menyenangkan hati hingga waktupun terlupakan
Planet venus yang indah seperti dari emas
tempat yang paling indah yang pernah kau antar

(Ost. Mojacko)

***

Bandung 1994,

Tempat dimana semua ceritaku dimulai, kota yang selalu menyimpan aroma nostalgia dalam setiap hembusan anginnya, jika hujan apalagi. Hawa dinginnya, suasana yang romantis, lampu malam yang dapat dilihat dari bukit-bukit menjulang, selalu menyisakan memori tersendiri.

Bandung juga adalah satu-satunya titik dalam peta dunia yang menyediakan ruang tumbuh untuk Andra Revano, anak laki-laki 9 tahun, yang memiliki jiwa bebas dan kritis. Dia selalu mencari hal-hal baru untuk dijelajahi, entah itu gang kecil yang belum pernah dilalui atau taman kota yang menyimpan kejutan.

Revano adalah anak kelas 4 SD yang lucu dan mudah disukai, selalu bisa membuat orang di sekitarnya tertawa. Meski begitu, dia sebenarnya pemalu, pendiam, seringkali lebih nyaman bersembunyi di balik candaan daripada menunjukkan perasaannya yang sebenarnya.

Ia memiliki mata indah yang tajam, bukan hanya dalam melihat barang antik yang menjadi hobinya, tapi juga dalam mengingat hal-hal kecil yang mendetail, yang orang lain mungkin saja abaikan.

Ya, dia punya hobi unik untuk anak seusianya. Sejak kecil, dia sudah mengoleksi tape, menyimpan kaset-kaset lawas, seolah setiap lagu punya cerita yang perlu dia simpan dalam dunianya.

Aku, Leandra Kaluna Maheswari, yang saat itu berusia 7 tahun dan duduk di bangku akhir kelas 2 sekolah dasar, mengenal Revano di suatu pertunjukan sirkus malam yang diadakan di salah satu gor yang lokasinya berdekatan dengan tempat tinggal kami.

Kala itu ada sebuah acara festival di televisi yang disponsori oleh salah satu produk minuman berkarbonasi. Festival itu cukup menyedot perhatian banyak orang, terutama warga di sekitar rumahku, karena itu adalah satu-satunya acara besar yang pertama kali diselenggarakan di dekat lingkungan rumah kami.

Aku berdiri di dekat gerbang masuk, memegangi tangan ayahku yang sibuk berdiskusi dengan ibuku mengenai pertunjukan apa yang harus kita lihat terlebih dahulu. Akhirnya pilihan jatuh pada sebuah panggung sirkus yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Kami bergegas menuju loket tiket dan mengantri ditengah kerumunan padat.

Namun, suasana segera berubah ketika terjadi keributan kecil di dekat loket tiket. Orangtuaku terlibat dalam perdebatan dengan pasangan lain yang tampak sama-sama bersemangat untuk masuk ke dalam tenda sirkus.

"Pak, antri yang bener dong! Kita udah duluan di sini!"

Suara ibuku meninggi, ekspresinya tegang.

"Maaf, Bu, tapi kami udah duluan, udah lama juga antri di sini,"

Balas seorang pria, yang ternyata adalah ayahnya Revano.

"Tadi kan anak saya sudah duluan berdiri di depan loket."

"Pak, ini kan banyak orang, semuanya itu berdesakan, terus anak bapak berdirinya bukan di jalur tiket,"

Tambah ibu dengan nada kesal, tangannya menunjuk loket yang masih dikerumuni banyak orang.

"Namanya juga anak kecil bu, kesenggol orang ya geser posisinya"

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang