BAB 47 - PISCES DAY!

5 2 3
                                    

Jakarta, 11 Maret 2009

Suara televisi di apartemenku memenuhi ruangan kecil ini. Berita sejak pagi buta menayangkan rekaman kerusuhan yang baru saja berlangsung sejak dini hari, sepanjang malam di berbagai kota besar. Baru saja semalam terasa ada sebuah harapan bersama sahabat-sahabatku yang sedang merencanakan membuat basecamp di Cinere. Namun pagi ini mengapa begitu cepat waktu berjalan sesuai dengan yang kami semua prediksikan.

Jakarta yang sebelumnya dianggap aman kini kacau dalam semalam, seakan sudah tidak bisa lagi menahan tekanan yang datang bertubi-tubi. Gelombang tsunami yang menghantam Lamkuta masih menyisakan ribuan korban yang tidak tertangani dan terperhatikan. Pemerintah dianggap tidak becus dalam menangani permasalahan baik bencana tsunami maupun Hemodrastis-7 ini.

Aku terbangun sekitar pukul 4 dini hari karena mendengar suara peluit polisi, disusul suara seperti ledakan dan teriakan massa yang bergema. Hingga saat ini—pagi hari, Kai, Diandra, Mega, dan bahkan Revano yang seharusnya pergi ke kantornya, izin cuti karena kerusuhan yang berada tepat di jalan apartemen kami. Massa menutup jalan yang membuat kami tidak bisa bergerak.

Di depan kantor pemerintahan, ban yang yang dibakar membentuk asap pekat menghitamkan langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di depan kantor pemerintahan, ban yang yang dibakar membentuk asap pekat menghitamkan langit. Massa yang marah menjebol pagar kantor-kantor pemerintahan, aksi protes atas ketidakmampuan pemerintah yang dianggap lamban dan tidak mampu memberikan solusi. Toko-toko sembako—yang sejak awal virus menyebar, tutup karena ketakutan, kini diobrak-abrik oleh kerumunan yang putus asa, merampas apa pun yang tersisa, seolah persediaan terakhir untuk bertahan di tengah bencana yang kian menggila.

"Ini kok bisa barengan gini sih kerusuhan? Masa janjian?" tanya Diandra, nadanya setengah bingung dan setengah panik.

Mega mengangguk, seolah menambahkan, "Nggak mungkin ini spontan, pasti lah ada yang ngatur dari balik layar."

Revano yang sedang duduk di sampingku akhirnya bereaksi "Kerjaan oposisi ini pasti," gumamnya sambil menatap lurus ke arah televisi. "Mereka nggak akan diam di tengah situasi gini. Pemerintah kacau, virus menyebar, rakyat marah—ini saat yang tepat buat mereka gerak."

Kai, yang dari tadi juga duduk diam di sampingku akhirnya bersuara. "Situasi kayak gini emang selalu dimanfaatkan pihak yang punya kepentingan. Pemerintah memang sibuk sama penanganan bencana dan pandemi, tapi ada juga yang siap buat memperkeruh keadaan."

Baru saja Revano mau menimpali, ponselnya berdering. Dia menatap layar sejenak, keningnya mengerut. "Sebentar yah, aku angkat dulu," katanya, berjalan ke sudut ruangan. Suaranya yang serius terdengar samar-samar saat dia menjawab telepon.

 Suaranya yang serius terdengar samar-samar saat dia menjawab telepon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JINGGA [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang