Matahari terlihat hampir tenggelam. Xavier beserta pasukannya sedang berada dalam perjalanan menuju istana.
Dahi Xavier mengernyit mendengar helaan napas kasar yang terus dikeluarkan Ellena. Walaupun suara tapak kaki kuda lebih mendominasi, tapi suara hembusan napas Ellena membuatnya sedikit terusik.
"Lelah?" Tanya Xavier.
"Aku hanya duduk diam memperhatikan orang berlatih. Bukankah itu sangat melelahkan?" Sarkas Ellena.
Xavier menghentikan kudanya dan membuat pasukan dibelakangnya ikut berhenti. "Kalian kembalilah lebih dulu. Aku ingin pergi ke suatu tempat." Ujar Xavier pada pasukannya.
"Baik, Yang Mulia."
Mereka semua langsung pergi meninggalkan Xavier. Ellena yang melihatnya langsung menoleh pada Xavier.
"Aku? Lalu bagaimana denganku?! Apa kau tega meninggalkanku sendirian disini? Biarkan aku ikut dengan mereka, Xavier." Panik Ellena.
Xavier tak menjawab. Pria itu kembali memacu kudanya dan membuat Ellena hampir terjatuh. Beruntung Xavier dengan sigap menahan pinggang gadis itu dengan sebelah tangannya.
"Aku akan membawamu ke suatu tempat. Salahmu sendiri menunjukkan ekspresi tak menyenangkan seperti tadi."
"Apa salahnya bersikap ekspresif? Lagipula aku memang lelah. Bokongku ini sangat sakit karena terlalu lama duduk."
"Aku sudah mengajakmu berlatih tapi kau malah tidak mau."
"Aku juga malas melakukannya."
Xavier berdecak. "Apa untungnya aku memiliki istri sepertimu?"
"HEI! Asal kau tau, Xavier. Walaupun aku pemalas tapi aku baik hati, cantik, terlalu baik hati, terlalu cantik, selalu baik hati, selalu cantik dan tidak sombong."
Ellena mengibaskan rambutnya hingga mengenai wajah Xavier. "Kau pasti bangga memiliki istri sepertiku."
Xavier berdecih sambil berusaha menahan tawa. Andai posisi mereka saling berhadapan. Pasti ekspresi gadis itu akan sangat lucu saat mengatakannya.
Tak lama kemudian, mereka telah sampai di tempat tujuan. Xavier membantu Ellena untuk turun padahal gadis itu bisa turun sendiri.
Tubuh Ellena membeku saat melihat pemandangan di hadapannya. Mereka kini berada di sebuah bukit. Ellena bahkan bisa melihat pemandangan kota di bawah sana.
Ellena duduk dibawah pohon apel, diikuti oleh Xavier.
"Pemandangan matahari terbenam disini sangat indah." Ucap Xavier memberi tahu.
Ellena hanya menoleh sekilas.
"Apa kau tidak menyukainya?" Tanya Xavier saat melihat tak ada raut bahagia di wajah Ellena.
"Suka."
"Kenapa tidak menunjukkan ekspresi bahagia?"
"Bagaimana caranya? Apakah seperti ini?" Ellena tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan giginya. Hal itu membuat Xavier tertawa sambil membekap mulut Ellena.
"Jika seperti ini, orang lain akan mengira dirimu adalah putri kerajaan palsu."
Ellena menurunkan tangan Xavier. "Tidak apa-apa. Setidaknya ada orang yang percaya padaku."
"Siapa?"
"Kau–" Kedua sudut bibir Xavier mengembang.
"Dan Carlos." Senyuman Xavier luntur seketika. Carlos lagi, carlos lagi.
Beberapa saat kemudian mereka terdiam hingga akhirnya Ellena kembali membuka suara. "Aku tidak menyangka dirimu adalah orang baik."
"Sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Distopia in the Moonlight (TAMAT)
FantasyTak pernah terbayang di benak Ellena jika ia akan hidup kembali setelah dibunuh oleh suaminya hanya karena menghina selingkuhan pria itu. Ia pun bertekad untuk tidak mengulangi hal yang sama di kehidupan keduanya. Tapi bagai keluar dari kandang hari...