41.

166 10 6
                                    

Pagi harinya, di rumah sakit.

Aku melihat dua orang polisi baru saja keluar dari ruang rawat papah. Setelah itu aku buru-buru membuka pintu rawat papah. Sayangnya hal pertama yang kulihat adalah pemandangan yang menusuk ke hatiku. Langkahku tertahan di ambang pintu.

"Jenn," panggil papah. "Kamu kok baru datang?"

Melihatku yang cuma diam. Papah menginstruksikan anak tirinya. Aku tak menyangka beliau akan jadi sepengertian ini padaku.

"Celine, ayah sudah kenyang," kata papah ke anak tirinya. "Bisa, kamu ambilin laptop ayah di rumah?"

Celine menyimpan bubur ke meja, mengiyakan sambil tersenyum, "Aku pergi sekarang ya, Yah."

Papah balas tersenyum, "Hati-hati."

Lalu Celine melewatiku sambil tersenyum palsu, melirik kotak makan yang aku bawa. Aku masuk ke kamar dan berdiri di samping papah. Papah melihatku seolah memang sedang menanti-nantikan kehadiranku.

"Kenapa papah berhenti makan?" tanyaku, senang sekali. "Bubur yang aku bawain gak enak."

Aku senang karena papah mengusir Celine secara halus. Jika hanya untuk mengambil barang, beliau cukup menelepon orang rumah untuk mengantarnya ke rumah sakit. Sepertinya papah sedang agak kesal kepada si anak tiri.

"Asal gak bikin papah langsung mati di tempat aja, Jenn," canda papah.

Aku tertawa pelan. Aku menyuapi bubur yang sengaja aku buat sendiri di mansion. Jerico langsung membawaku pulang, setelah insiden di rooftop.

"Jennie, ada apa dengan kaki kamu?" Papah menatapku. "Sepertinya kamu sangat kesakitan saat jalan ke sini."

Yahh ... Jerico sudah menyiksaku dengan napsu serigalanya sepanjang malam.

"Tadi aku jatuh pas mau bikin bubur, Pah. Aku gak tau kalo dapurnya baru aja dipel," dustaku, mencari simpati beliau. "Tangan aku juga merah, nih."

Sebelah tanganku yang diinjak Jerico memang merah dan lecet.

Papah melihatku dengan rasa bersalah, "Lain kali jangan repot-repot untuk papah lagi, meski papah seneng kamu masih peduli sama papah."

Aku tersenyum kecil.

Papah kembali berkata, "Semalam mamah kamu bilang, kamu langsung pergi setelah dihajar sama ibu tiri kamu. Maafin beliau ya, Jenn. Tapi malam itu papah cuma kepikiran sama kamu."

Kali ini aku diam, menunduk, "Ada anak papah yang lain, ngurusin papah juga. Papah gak akan terlalu mikirin aku bahkan mungkin lebih gak akan pernah tau aku lagi setelah aku sekolah di luar negeri. Kayak sebelumnya."

Semakin lama aku semakin ingin papah merasa bersalah padaku.

"Jennie, papah tidak pernah tidak peduli sama kamu," ujar papah gelisah. "Gimana kalau papah minta Lucas buat nemenin kamu sekolah di luar negeri? Kamu suka sama dia, kan."

Aku melebarkan mata terkejut.

Darimana dasarnya beliau bisa membuat kalimat yang menyatakan aku suka pada Lucas? Entah kerepotan apa yang akan aku hadapi bila Jerico mengetahui hal ini. Namun, jika aku menolak kesempatan ini maka aku akan diperlakukan sebagai boneka oleh Jerico seumur hidupku.

"Aku gak suka sama Lucas," sangkalku lugas.

Papah tidak percaya, mengutarakan asumsinya, "Sudah, jangan malu di depan papah. Kamu keliatan sedih dan kecewa berat saat papah minta kamu jauhin dia, kemarin juga kamu nyinggung nama dia lagi waktu berantem sama papah. Maksudnya kamu gak mau jauh dari Lucas kan, Jenn?"

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang