Bab 3: Berbagi Cerita dan Impian
Kehidupan Andrew mulai terasa lebih cerah setelah pertemuan tak terduga dengan Rachel. Dalam beberapa minggu setelah mereka pertama kali bertemu di perpustakaan, keduanya mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Setiap pertemuan menyisakan kenangan indah dan membuat Andrew semakin yakin bahwa Rachel adalah sosok yang mampu mengubah hidupnya.
Suatu sore di bulan Maret, mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe kecil di Brooklyn yang dikenal dengan atmosfernya yang hangat dan nyaman. Kafe itu terletak di sudut jalan yang ramai, dikelilingi oleh pohon-pohon berdaun hijau yang sedang bermekaran. Aroma kopi yang segar dan kue kering yang baru dipanggang menyambut mereka begitu mereka melangkah masuk. Dinding kafe dipenuhi dengan lukisan lokal yang berwarna-warni dan lampu gantung yang lembut menciptakan suasana yang tenang.
Andrew duduk di meja kayu yang terletak di dekat jendela, menunggu Rachel dengan secangkir cappuccino di tangannya. Dia menatap keluar, menyaksikan kehidupan kota yang bergerak cepat, namun hatinya dipenuhi rasa tenang setiap kali memikirkan Rachel. Tak lama kemudian, Rachel tiba, mengenakan sweater tebal berwarna biru laut dan celana jeans. Rambutnya yang panjang tergerai indah, dan senyum manisnya membuat Andrew merasakan detak jantungnya semakin cepat.
“Maaf aku terlambat! Terlalu banyak yang harus aku lakukan di perpustakaan,” ujar Rachel sambil duduk di hadapan Andrew, mengusap punggung tangannya untuk menghilangkan kedinginan.
“Tidak apa-apa. Aku juga baru saja tiba,” jawab Andrew sambil memberikan senyuman hangat. “Apa yang kau pesan?”
“Cappuccino dan kue cokelat. Aku tahu ini favoritmu, jadi aku tidak bisa melewatkannya,” balas Rachel, matanya berkilau penuh semangat.
Andrew tertawa. “Bagus sekali! Selera kita benar-benar serasi,” dia berkata sambil menyesap cappuccino-nya.
Setelah memesan, mereka berdua mulai berbincang-bincang. Rachel bercerita tentang harinya di perpustakaan, bagaimana dia mengorganisir acara membaca untuk anak-anak, dan betapa berartinya melihat mereka bersemangat membaca buku. Andrew mendengarkan dengan penuh perhatian, terpesona oleh antusiasmenya.
“Aku selalu percaya bahwa buku bisa membawa kita ke tempat yang tidak pernah kita bayangkan. Seperti saat aku pertama kali membaca ‘Harry Potter’,” kata Rachel, mengenang masa kecilnya. “Aku merasa seolah-olah aku adalah bagian dari dunia sihir itu.”
Andrew tersenyum. “Aku juga merasakannya. Buku-buku itu bisa menjadi pelarian yang sempurna dari kenyataan. Tapi aku rasa sekarang, ada sesuatu yang lebih menyenangkan daripada sekadar membaca,” ujarnya, matanya bertemu dengan mata Rachel.
“Seperti apa?” Rachel bertanya, terlihat penasaran.
“Berbicara dan menghabiskan waktu bersamamu,” jawab Andrew dengan tulus. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan yang tumbuh semakin kuat di hatinya.
Rachel merona, wajahnya menunjukkan rasa bahagia. “Aku juga merasa sama. Ini adalah saat-saat terbaik dalam hidupku.”
Mereka melanjutkan percakapan, membahas buku-buku favorit mereka dan impian-impian masa depan. Rachel ingin menjadi seorang penulis, menceritakan kisah-kisahnya kepada dunia. “Aku ingin bisa menginspirasi orang-orang seperti penulis favoritku menginspirasiku,” jelasnya dengan penuh semangat.
“Buku apa yang sedang kau tulis?” tanya Andrew, sangat tertarik.
“Masih dalam tahap awal, tetapi ini tentang seorang gadis muda yang menemukan kekuatannya sendiri dan berjuang melawan berbagai tantangan. Aku berharap bisa menyelesaikannya dalam waktu dekat,” jawab Rachel.
Andrew terpesona. “Kedengarannya menakjubkan. Aku tidak sabar untuk membaca karya pertamamu,” ucapnya, memberikan dukungan.
“Terima kasih! Itu sangat berarti bagiku,” Rachel menjawab, matanya bersinar cerah.
Mereka terus berbagi impian dan harapan, saling mendukung satu sama lain. Andrew bercerita tentang perjalanan kariernya sebagai seorang dokter dan bagaimana dia ingin membuka klinik untuk membantu masyarakat yang kurang mampu.
“Kesempatan untuk membantu orang lain adalah hal terpenting bagiku. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka yang tidak memiliki akses yang baik terhadap layanan kesehatan,” jelas Andrew, dengan semangat yang sama seperti Rachel saat berbicara tentang menulis.
“Aku sangat mengagumi dedikasimu. Itu benar-benar mulia,” balas Rachel, menyentuh tangan Andrew dengan lembut.
Momen itu membuat jantung Andrew berdebar lebih cepat. Dia tidak pernah merasakan koneksi seperti ini sebelumnya. Saat mereka berbicara, ada kehangatan dan keintiman yang membuat Andrew ingin melindungi Rachel dan membuatnya bahagia.
“Rachel,” Andrew memulai, menatap dalam-dalam ke mata Rachel. “Aku merasa kita memiliki hubungan yang istimewa. Mungkin kita bisa menjadi lebih dari sekadar teman.”
Rachel tersentak, wajahnya memerah. “Aku juga merasa seperti itu, Andrew. Setiap saat yang kita habiskan bersama membuatku semakin terikat padamu.”
Andrew merasa lega. “Apakah kamu mau menghabiskan lebih banyak waktu bersamaku? Aku ingin mengenalmu lebih dalam dan menjelajahi apa yang mungkin ada di antara kita.”
Rachel tersenyum lebar. “Tentu! Aku akan sangat senang untuk itu.”
Setelah mereka menyelesaikan kopi dan kue, Andrew mengambil keputusan berani. “Bagaimana kalau kita pergi ke tepi pantai akhir pekan ini? Ada festival musik kecil yang sedang berlangsung. Aku yakin itu akan menyenangkan.”
“Ide yang bagus! Aku sudah lama tidak pergi ke pantai,” jawab Rachel, matanya berbinar penuh antusiasme.
Mereka pun merencanakan pertemuan berikutnya, merasakan kegembiraan yang tumbuh di antara mereka. Andrew tidak sabar untuk mengeksplorasi lebih banyak tentang Rachel dan impian yang mereka bagi.
Saat mereka meninggalkan kafe, Andrew menggenggam tangan Rachel dengan lembut. Dia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah. Dengan senyum di wajah dan harapan di hati, mereka melangkah ke arah masa depan yang penuh potensi.
---
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You (Short Story) [END]
Short StoryGenre: romance, drama, slice of life, short story, nobl