Hampa yang Menghantui
Nathaniel Rivers duduk sendirian di sudut ruang tamu penthouse-nya yang mewah, menghadap ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan menakjubkan Kota Toronto. Cahaya lampu kota yang gemerlap memantul dari permukaan Danau Ontario, menciptakan refleksi yang mengabur seiring dengan perasaan kosong di dalam dirinya.
Penthouse itu luas, dengan langit-langit tinggi dan dinding kaca yang hampir transparan, menyatukan pemandangan kota dengan interiornya. Di belakang Nathaniel, ada ruang tamu bergaya minimalis dengan sofa kulit abu-abu tua dan meja kopi kaca yang dihiasi beberapa majalah bisnis dan laptop. Namun, meskipun kemewahan di sekitarnya, Nathaniel merasa seperti tenggelam dalam kekosongan.
Setumpuk dokumen tergeletak di meja kerja kayu ek di pojok ruangan, menunggu perhatiannya. Namun, pikirannya tak bisa fokus. Seminggu telah berlalu sejak ia berpisah dengan kekasih prianya, Damian, dan meskipun ia terbiasa mengubur perasaannya di balik pekerjaan, kali ini semuanya terasa berbeda.
Nathaniel memandang jauh ke arah cakrawala, memikirkan kata-kata terakhir yang diucapkan Damian sebelum mereka berpisah.
"Kamu tidak pernah benar-benar mencintaiku, Nate. Kamu mencintai kontrol dan stabilitas yang aku berikan. Tapi aku bukan bagian dari kehidupanmu yang teratur itu."
Kata-kata itu seperti pukulan telak yang terus terngiang di telinganya. Ia tidak bisa membantah, karena di dalam hatinya, ia tahu Damian benar. Selama bertahun-tahun, Nathaniel selalu menjaga kehidupan emosionalnya sekuat mungkin—tertata, rapi, dan tanpa ruang untuk ketidakpastian. Tapi cinta tidak bisa diatur seketat itu. Ia sekarang merasakan hampa yang aneh, seolah-olah bagian dari dirinya telah hilang, meski ia tak sepenuhnya yakin apakah itu cinta atau hanya kebiasaan.
Nathaniel menarik napas dalam-dalam dan berdiri dari kursinya. Ia berjalan menuju dapur, yang dilengkapi dengan peralatan modern dari baja tahan karat, serta meja marmer putih yang mengkilap. Ia menuangkan segelas anggur merah dari botol yang terbuka, berharap cairan itu bisa sedikit meredam kerumitan emosinya.
Saat ia mengambil satu tegukan, bunyi dering ponsel di meja dapurnya mengganggu keheningan. Melirik layar, Nathaniel melihat nama asistennya, Grace, tertera di sana.
Ia menghela napas, menekan tombol jawab. "Grace, ada apa?"
"Pak Rivers, maaf mengganggu malam Anda. Saya hanya ingin mengingatkan tentang pertemuan besok pagi dengan investor di kafe Winter's Corner."
Nathaniel mengangguk meski tahu Grace tak bisa melihatnya. "Ya, saya ingat. Jangan khawatir."
"Apakah Anda butuh sesuatu lagi sebelum saya pergi malam ini?"
Sejenak, Nathaniel berpikir untuk memintanya membatalkan pertemuan itu. Namun, ia menahan diri. "Tidak, itu saja. Terima kasih, Grace."
Setelah panggilan berakhir, Nathaniel meletakkan ponselnya kembali di meja, lalu melangkah ke balkon. Udara malam yang dingin menyambutnya ketika ia membuka pintu geser. Ia berdiri di tepi pagar kaca, memandangi lampu-lampu yang bersinar di bawah. Kota yang terus bergerak, berdenyut dengan kehidupan, sementara di dalam dirinya, segalanya terasa begitu sunyi.
Nathaniel mengusap wajahnya, mencoba mengusir pikiran yang memenuhi benaknya. Ia merasakan keraguan yang mendalam tentang keputusan-keputusannya, sesuatu yang jarang ia rasakan. Apakah dia benar-benar kehilangan sesuatu yang berharga, atau apakah perpisahan ini hanya sebuah babak yang sudah lama tertunda?
Di bawah sana, di jalan-jalan Toronto yang sibuk, Anneth Snow baru saja menyelesaikan pemotretannya di sudut jalanan tua. Kamera DSLR tergantung di lehernya, sementara rambut cokelat panjangnya tersibak angin malam. Anneth adalah seorang fotografer lepas, dan malam ini, dia menangkap momen-momen kota dalam nuansa gelap dan dingin, sesuatu yang selalu membuatnya merasa hidup.
Dia berjalan melewati kedai kopi kecil, Winter’s Corner, yang terletak di tepi persimpangan jalan. Kafe itu memiliki jendela besar, menyuguhkan pemandangan ke dalam ruangan di mana orang-orang sibuk berbincang dan menikmati kopi mereka. Anneth berhenti sejenak, memandangi suasana yang hangat di dalam, kontras dengan dinginnya malam di luar.
"Mungkin besok aku akan mampir ke sini," pikir Anneth. Di tempat ini pula, esok hari, nasibnya akan bersilangan dengan pria yang kehidupannya baru saja terpecah.
Namun malam ini, Anneth, sama seperti Nathaniel, tidak tahu bahwa jalan mereka akan bertemu. Saat ia melangkah pulang menuju apartemennya yang sederhana di Kensington Market, hanya ada perasaan puas setelah seharian penuh bekerja. Bagi Anneth, dunia fotografinya adalah pelarian yang sempurna dari segala kekacauan emosional yang pernah ia rasakan.
Sementara Nathaniel, di tempat yang lebih tinggi di gedungnya yang megah, merasa semakin tenggelam dalam pikirannya. Perasaan hampa yang menyelimutinya tak kunjung sirna.
Esok hari mungkin akan menjadi awal yang baru, atau mungkin sekadar hari lain yang berlalu tanpa arti.
Tetapi, hidup selalu penuh dengan kejutan.
---
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You (Short Story) [END]
Cerita PendekGenre: romance, drama, slice of life, short story, nobl