Whispers of the Heart (1/5)

14 1 0
                                    

Bab 1: Kehampaan yang Menyakitkan

Pagi itu, matahari bersinar cerah di wilayah East Coast, Amerika Serikat, menandakan hari baru yang penuh harapan. Andrew Sinclair, seorang dokter berusia 30 tahun, berdiri di jendela apartemennya di Manhattan, memandangi keramaian kota yang tak pernah tidur. Namun, di balik pemandangan yang indah itu, ada kekosongan yang menggerogoti hatinya.

Hatinya masih diliputi rasa sakit setelah putus hubungan dengan Jake, mantan kekasihnya, yang memilih untuk meninggalkannya demi kebebasan yang lebih besar. Andrew menghela napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya. Dia tahu bahwa hidup harus terus berjalan, tetapi kehilangan itu masih terlalu menyakitkan.

Andrew menyesap kopi pahitnya, mencoba mengalihkan pikirannya dengan memikirkan jadwal harian di rumah sakit. Namun, pikirannya selalu kembali pada Jake dan bagaimana perasaannya tidak terbalas. Dia merasa terjebak dalam rutinitas, terasing dari dunia di sekitarnya.

“Andrew! Apa kamu siap untuk berangkat?” suara sahabatnya, Daniel, memecah kesunyian. Daniel adalah seorang perawat yang ceria dan selalu berusaha mendorong Andrew untuk keluar dari keterpurukannya.

“Ya, sebentar lagi,” jawab Andrew sambil menaruh cangkirnya di meja. “Aku hanya... berpikir.”

“Berpikir lagi? Berhentilah menyiksa diri sendiri,” Daniel berkata sambil tersenyum, menepuk punggung Andrew. “Ayo, kita punya pasien yang menunggu.”

Setelah beberapa jam di rumah sakit, Andrew merasa sedikit lebih baik. Dia terlibat dalam berbagai kasus medis, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Siang itu, saat sedang beristirahat di ruang tunggu, seorang pasien bernama Rachel Finch, seorang pustakawan berusia 25 tahun, masuk ke ruang periksa. Andrew mengenal Rachel dari beberapa kali kunjungan sebelumnya.

“Selamat siang, Dr. Sinclair,” sapanya dengan senyum manis, rambut cokelat panjangnya tergerai indah. “Bagaimana kabar hari ini?”

“Selamat siang, Rachel. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Andrew menjawab, mencoba tersenyum.

“Masih berjuang dengan pilek yang tak kunjung reda,” jawab Rachel sambil mengusap hidungnya. “Tetapi aku rasa ini tidak ada hubungannya dengan kebiasaan membaca buku di perpustakaan yang dingin.”

“Jangan khawatir. Kita akan segera menanganinya,” jawab Andrew, merasa sedikit lebih ceria saat melihat Rachel. “Tapi ingat, jangan terlalu banyak membaca di sana.”

Rachel tertawa, “Kau benar. Kadang-kadang aku bisa lupa waktu dan malah meringkuk di sudut sambil membaca.”

Andrew menyukai kejujuran dan kepolosan Rachel. Dia bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari gadis itu. Meskipun masih diliputi rasa sakit, ada sesuatu dalam diri Rachel yang membuatnya merasa nyaman. Mereka mengobrol beberapa saat sebelum Andrew mulai memeriksa Rachel.

“Sepertinya kamu butuh istirahat,” kata Andrew setelah memeriksa kondisi Rachel. “Bagaimana kalau kau pergi ke kafe di dekat perpustakaan? Ada tempat bagus yang menjual kue lezat.”

“Hmm, terdengar menggoda,” jawab Rachel dengan mata berbinar. “Aku akan mencobanya setelah selesai di sini.”

“Bagus. Dan jangan lupa untuk memperhatikan dirimu,” Andrew menambahkan, berusaha untuk peduli.

Setelah pertemuan itu, Andrew kembali bekerja, tetapi pikirannya terus kembali pada Rachel. Keberadaan gadis itu memberikan sedikit cahaya dalam kegelapan yang mengelilingi hatinya. Dia ingin mengenal Rachel lebih dekat, tetapi rasa takut dan ketidakpastian menghentikannya.

---

Sore harinya, saat Andrew pulang dari rumah sakit, dia memutuskan untuk berjalan-jalan di Central Park. Suasana di taman itu terasa segar, dengan dedaunan yang hijau dan suara anak-anak bermain. Dia berharap bisa menghibur diri sejenak, melupakan beban di hatinya.

Ketika berjalan, matanya tertuju pada seorang gadis yang duduk di bangku, tenggelam dalam sebuah buku. Setelah mendekat, dia terkejut melihat bahwa gadis itu adalah Rachel. Dia tidak bisa menahan senyum saat melihat Rachel terlihat begitu tenang dan bahagia dalam dunianya sendiri.

“Rachel?” panggil Andrew, mendekat.

Rachel menoleh, terkejut, “Oh, Andrew! Kamu juga di sini?”

“Ya, aku hanya ingin menikmati udara segar. Apa yang kamu baca?” tanya Andrew, duduk di sampingnya.

“Ini novel klasik. Aku suka menyelami dunia fiksi,” jawab Rachel sambil menunjukkan sampul bukunya.

Andrew mengangguk, tertarik. “Aku tidak terlalu sering membaca fiksi. Mungkin aku harus mencoba.”

“Tentu! Aku bisa merekomendasikan beberapa buku,” jawab Rachel dengan antusiasme yang membuat hati Andrew berdebar.

Percakapan mereka mengalir dengan lancar, penuh dengan tawa dan cerita. Andrew merasakan kehangatan di hatinya, sesuatu yang sudah lama hilang. Rachel membuatnya merasa nyaman, seolah-olah dia bisa melepaskan semua beban emosional yang ada.

“Saya senang kita bertemu di sini,” kata Rachel, senyumnya merekah. “Rasanya seperti takdir.”

“Ya, aku juga,” jawab Andrew, merasakan ketertarikan yang tumbuh di antara mereka. “Kamu tahu, aku merasa lebih baik sekarang.”

“Terima kasih. Aku hanya mencoba menjalani hari-hariku,” jawab Rachel, matanya bersinar.

Andrew menatap Rachel, merasakan ikatan yang tumbuh antara mereka. Mungkin, hanya mungkin, dia bisa menemukan kebahagiaan baru. Namun, dia masih merasa ragu, terjebak antara perasaannya yang baru berkembang dan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.

“Rachel, aku ingin kita bertemu lagi,” ujar Andrew dengan penuh harapan.

“Dengan senang hati, Andrew,” jawab Rachel, dan mereka berdua saling tersenyum, merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan yang sedang berkembang.

Andrew tahu bahwa perjalanan ini baru dimulai. Dia merasa ada harapan baru di tengah kesedihan, dan mungkin, hanya mungkin, Rachel bisa membawanya menuju kebahagiaan yang selama ini dia cari.

Dengan semangat baru, Andrew dan Rachel melangkah menuju masa depan yang penuh kemungkinan.

---

Bersambung

Because Of You (Short Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang