Di tengah malam yang tenang, Lee Kangha duduk di balkon apartemennya di Seoul. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, namun suasana itu tak mampu mengusir rasa hampa yang menggerogoti jiwanya. Usianya yang menginjak 31 tahun membuatnya seharusnya lebih matang, tetapi hatinya masih terjebak dalam kekecewaan setelah hubungan yang berantakan dengan seorang pria.
Kangha memandangi kertas-kertas berserakan di meja kerjanya. Novel yang sedang ditulisnya tampak tidak ada progres. Kata-kata yang seharusnya mengalir dengan mudah kini terhenti. Di sebelah meja, secangkir kopi yang sudah dingin menandakan berapa lama ia terjebak dalam pikirannya.
“Gila,” gumamnya sambil mengusap wajahnya. “Kenapa aku selalu terjebak dalam hubungan yang sama?”
Saat merenung, teringat kembali sosok mantan kekasihnya, Jiho. Keberanian dan semangat Jiho dalam mengejar mimpi sempat menginspirasi Kangha, tetapi ego dan ketidaksetiaan Jiho merusak semuanya.
“Setidaknya aku masih bisa menulis,” pikirnya sambil mengalihkan perhatian ke pemandangan luar. Jalanan di bawah tampak sepi, hanya sesekali mobil melintas. Dalam sekejap, Kangha merasa seolah ia terjebak dalam labirin kehidupannya sendiri, tidak tahu arah untuk melangkah maju.
Sebuah bunyi dering telepon membuyarkan lamunannya. Kangha mengangkat ponselnya dan melihat nama sahabatnya, Joon.
“Yoboseyo?” jawab Kangha.
“Kangha, kau di mana? Kenapa tidak mau keluar? Kita sudah lama tidak nongkrong,” suara Joon terdengar ceria meski ada nada khawatir di baliknya.
“Aku di rumah. Lagi menulis,” jawab Kangha pelan, seolah merasa bersalah atas keengganannya.
“Menulis? Sejak kapan kau bisa menulis dengan mood yang begini?” Joon menggoda.
“Tapi aku ingin sendiri,” jawab Kangha, berharap sahabatnya mengerti.
“Dengar, kau butuh udara segar. Ayo ke taman. Setidaknya bisa lihat bulan,” Joon mendesak. “Kita bisa bawa minuman.”
Kangha terdiam sejenak, berpikir. Taman yang Joon maksud adalah Taman Hangang, salah satu tempat favorit mereka untuk menghabiskan waktu. Mungkin menghirup udara segar dan melihat bulan bisa memberinya inspirasi.
“Baiklah. Aku akan siap-siap,” jawab Kangha akhirnya.
---
Taman Hangang tampak hidup dengan suasana malam yang damai. Suara gemericik air sungai dan derak dedaunan yang tertiup angin menciptakan melodi alami. Kangha dan Joon menemukan tempat di bangku kayu di pinggir sungai. Bulan purnama bersinar cerah, memantulkan cahaya di permukaan air.
“Lihat betapa indahnya malam ini,” Joon berkata sambil membuka botol soju dan menuangkannya ke dalam gelas. “Ini saatnya kita bersantai!”
Kangha hanya mengangguk sambil menatap bulan. Setiap sinar yang memantul dari air seakan mengingatkannya pada masa-masa indah yang kini telah berlalu. “Apa kau tidak merasa aneh?” tanya Kangha tiba-tiba.
“Aneh? Apa maksudmu?” Joon menjawab, sambil menyeruput soju.
“Maksudku, kenapa kita selalu berusaha melupakan seseorang, tapi bayangannya tetap membayangi kita?” Kangha menatap Joon, mencari jawaban.
“Karena kita terlalu mengingat kenangan indahnya,” Joon berkata dengan bijak. “Tapi kita harus belajar untuk move on, Kangha.”
Kangha terdiam, berpikir.
“Setidaknya, aku bisa menulis tentang perasaan ini,” kata Kangha pelan. “Mungkin karakter-karakter dalam novelku bisa melakukan apa yang tidak bisa aku lakukan.”
“Ya, itu bisa jadi terapi yang baik,” jawab Joon. “Tapi jangan biarkan kenangan itu menguasai hidupmu.”
Kangha kembali menatap bulan, merasakan getaran harapan kecil di dalam hatinya. Malam itu, seolah-olah bulan purnama memberikan cahaya baru dalam hidupnya yang kelam.
---
Keesokan harinya, suasana pagi di kampus Park Ye-eun terasa segar. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang menuju perpustakaan. Sebagai seorang mahasiswa sastra, ia selalu mencari inspirasi dari setiap sudut kehidupan.
“Ye-eun!” suara teman sekelasnya, Minji, memanggilnya. “Kau sudah siap untuk presentasi hari ini?”
“Belum,” jawab Ye-eun sambil tersenyum. “Aku masih mencari referensi.”
Mereka berdua memasuki perpustakaan, di mana buku-buku berjejer rapi di rak-rak tinggi. Aroma kertas dan tinta mengingatkan Ye-eun pada dunia imajinasi yang sangat ia cintai.
“Eh, lihat! Ini buku baru dari Lee Kangha!” Minji menunjukkan buku yang terpajang di salah satu rak.
“Penulis itu? Dia terkenal banget!” Ye-eun berkata, wajahnya berbinar. “Aku selalu ingin membaca karyanya.”
“Kenapa tidak kita pinjam dan bacakan di taman nanti?” Minji menawarkan.
“Bagus, kita bisa menikmati sore sambil membaca,” jawab Ye-eun.
---
Sore itu, mereka pergi ke taman yang sama, tempat Kangha dan Joon menghabiskan malam sebelumnya. Saat duduk di bangku, Ye-eun membuka halaman pertama novel Kangha. Kata-kata yang terukir di sana membawanya ke dunia baru.
“Lihat betapa indahnya gaya penulisannya,” Minji mengagumi. “Seolah-olah kita bisa merasakan setiap emosi.”
Ye-eun tersenyum, merasa terinspirasi. Dia tidak menyadari, di kejauhan, Lee Kangha yang sedang berjalan menyusuri jalan setapak taman, juga sedang merenung tentang hidupnya. Takdir seolah sedang menyiapkan pertemuan yang telah lama dinanti.
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang sama, dua jiwa yang sedang mencari jalan mereka akan segera bertemu.
---
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You (Short Story) [END]
Short StoryGenre: romance, drama, slice of life, short story, nobl