Beneath the Moonlight (2/5)

0 0 0
                                    

Keesokan harinya, udara pagi di Seoul terasa sejuk dan segar. Ye-eun berjalan dengan langkah ceria menuju kampusnya. Dia melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh pohon-pohon sakura yang sedang bermekaran, membuat suasana semakin indah. Meski sedikit berdesakan, suasana kampus selalu memberikan energi positif bagi Ye-eun.

“Ye-eun, cepatlah! Kita harus ke kelas sebelum dosen datang!” seru Minji, sahabatnya, sambil berlari mendekatinya.

“Tenang saja, kita masih punya waktu,” jawab Ye-eun sambil tersenyum. Namun, kegembiraannya terasa berlipat ketika dia mengingat novel terbaru dari Lee Kangha yang baru saja dia baca. Kata-kata dalam buku itu seolah-olah menyentuh hatinya dan memberinya semangat baru.

Setelah mengikuti kelas, Ye-eun dan Minji memutuskan untuk menghabiskan waktu di taman yang terletak di dekat kampus. Taman Hangang, dengan danau kecil di tengahnya dan jembatan yang melengkung, menjadi pilihan mereka untuk bersantai. Mereka duduk di bangku kayu yang menghadap ke danau, di mana suara gemericik air menyatu dengan kicauan burung.

“Jadi, apa yang kamu pikirkan tentang buku Kangha?” tanya Minji sambil mengeluarkan botol air dari tasnya.

“Dia benar-benar berbakat,” jawab Ye-eun antusias. “Setiap kalimatnya terasa hidup. Aku berharap bisa menulis seperti dia suatu hari nanti.”

“Kalau begitu, ayo kita cari dia dan meminta tanda tangan!” Minji menggoda.

“Gila! Dia pasti tidak mau diganggu oleh penggemarnya,” Ye-eun tertawa, meski hatinya berdebar membayangkan bertemu dengan penulis idolanya.

Mereka melanjutkan obrolan sambil menikmati keindahan sore yang cerah. Saat sedang asyik berbincang, Ye-eun merasakan sesuatu yang menarik perhatiannya. Di sisi taman, dia melihat seorang pria dengan rambut hitam berantakan dan sweater abu-abu yang tampak sedang duduk sambil menulis di laptop.

“Minji, lihat! Itu kan Lee Kangha?” bisik Ye-eun, tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

“Benarkah? Ayo, kita harus mendekatinya!” Minji berkata, penuh semangat.

Dengan jantung berdebar, Ye-eun dan Minji berjalan perlahan menuju Kangha. Ye-eun berusaha meredakan rasa gugup yang mulai melanda. Dia tidak ingin terlihat bodoh di depan penulis yang sangat dikaguminya.

“Permisi, apakah kamu Lee Kangha?” Minji bertanya dengan suara lembut, namun cukup berani.

Kangha mengangkat kepalanya dari layar laptop dan menatap mereka dengan tatapan yang sedikit bingung, namun ramah. “Ya, itu saya. Ada yang bisa saya bantu?”

Ye-eun merasakan aliran panas di pipinya. Ini adalah saat yang dia tunggu-tunggu. “Saya Park Ye-eun. Saya baru saja membaca novel terbaru Anda, dan saya sangat terinspirasi oleh karya Anda!” Dia berusaha berbicara dengan tenang meskipun suaranya bergetar.

“Terima kasih, Ye-eun. Senang sekali mendengar itu,” Kangha menjawab, senyum hangat tersungging di wajahnya. “Apa yang kamu suka dari novel itu?”

Ye-eun merasa terhanyut dalam percakapan. “Saya suka bagaimana Anda menggambarkan emosi karakter-karakternya. Seolah-olah saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Dan latar belakang cerita yang diambil dari kehidupan sehari-hari sangat mendalam.”

Kangha mengangguk, tampak tertarik. “Itu tujuan saya, untuk membuat pembaca merasakan pengalaman itu. Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu seorang penulis juga?”

“Belum, tapi saya ingin menjadi penulis. Saya sedang belajar sastra,” jawab Ye-eun, matanya berbinar penuh harapan.

“Menulis adalah perjalanan yang menarik. Ingatlah untuk tetap jujur pada dirimu sendiri dan jangan ragu untuk berbagi cerita yang ada di dalam hatimu,” Kangha memberi nasihat, mengingatkan dirinya akan perjalanan penulisannya sendiri.

Minji, yang sejak tadi diam, merasa perlu menyela. “Maaf mengganggu, tapi bisakah kami meminta tanda tangan Anda? Kami benar-benar penggemar!”

“Dengan senang hati,” Kangha menjawab sambil mengambil buku catatan dari tasnya. “Apa nama kalian?”

“Minji dan Ye-eun,” mereka menjawab serempak, lalu berusaha menahan tawa.

Kangha menulis di halaman kosong dengan gaya tulisan yang rapi. “Untuk Ye-eun dan Minji, semoga kalian menemukan inspirasi dalam setiap kata. Teruslah menulis!”

Ketika Kangha mengembalikan buku catatan kepada mereka, Ye-eun merasa seperti mendapatkan harta berharga. Dia memandang tulisan Kangha dan senyum lebar tidak bisa disembunyikan.

“Terima kasih banyak, Kangha! Ini akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan,” kata Ye-eun, hatinya berbunga-bunga.

“Terima kasih telah membaca karya saya. Dan semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu,” Kangha menjawab, merasa senang dengan interaksi yang baru saja terjadi.

Setelah Kangha kembali fokus pada laptopnya, Ye-eun dan Minji berjalan menjauh, tak henti-hentinya membahas pertemuan dengan penulis favorit mereka.

“Dia benar-benar baik dan ramah! Aku tidak percaya kita bertemu dengannya,” seru Minji dengan wajah ceria.

“Ya, aku merasa terinspirasi! Sepertinya aku harus mulai menulis lagi,” balas Ye-eun, masih terpesona dengan momen itu.

Mereka melanjutkan percakapan mereka sambil berjalan di sepanjang jalur taman yang dikelilingi pepohonan hijau. Di atas mereka, langit mulai berubah warna menjadi oranye keemasan, menandakan datangnya malam.

Di sisi lain, Kangha menatap layar laptopnya, teringat akan pertemuan singkat namun menyentuh itu. Ada rasa harapan baru yang mengalir dalam dirinya, dan mungkin, saatnya untuk kembali menulis dengan semangat yang baru.

Malam itu, di bawah cahaya bulan yang cerah, dua jalan hidup mulai berinteraksi, menyisakan rasa ingin tahu dan harapan akan pertemuan selanjutnya.

---

Bersambung

Because Of You (Short Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang