Bayangan di Kanvas
Di sebuah studio seni di jantung Paris, Lucien Fournier berdiri memandangi kanvas putih besar yang tergantung di dindingnya. Cahaya senja yang lembut menyelinap melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan bayang-bayang panjang di lantai kayu yang tua dan berderit. Bau minyak cat yang khas memenuhi udara, bercampur dengan aroma anggur yang masih segar di gelas kaca yang diletakkan di atas meja kayu kecil di sudut ruangan. Dinding-dinding studio dipenuhi dengan lukisan-lukisan Lucien, namun entah bagaimana, semuanya terasa hampa baginya.
Lucien, seorang pria berusia 29 tahun dengan rambut cokelat panjang yang sering ia ikat rapi, menatap kosong pada kanvas kosong di depannya. Selama beberapa bulan terakhir, kreativitasnya terhenti. Setelah berakhirnya hubungan yang menyakitkan dengan seorang pria yang pernah ia cintai, Lucien merasa terputus dari dunia di sekitarnya—dan dari dirinya sendiri. Setiap kali ia mencoba melukis, ia hanya mendapati diri terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. Setiap sapuan kuas terasa berat, seolah-olah hatinya tidak lagi mampu mengekspresikan apa pun yang nyata.
Sambil menghela napas, Lucien menyesap anggurnya. Jantungnya yang hancur tampak menempel pada semua yang ia lukis. Setiap warna mengingatkannya pada kenangan yang ingin ia lupakan—warna kulit mantan kekasihnya, langit malam yang mereka lihat bersama, bahkan matahari senja yang dulu membawa rasa damai kini terasa menyakitkan.
Studio kecil di Rue de Montmartre ini adalah tempat pelariannya. Namun, malam ini, tidak ada kenyamanan di sana. Ia dikelilingi oleh palet warna yang mati. Ia membutuhkan sesuatu—atau mungkin seseorang—untuk membangkitkan kembali api dalam dirinya.
Di luar, angin Paris yang dingin bertiup lembut, membawa serta aroma roti segar dari toko roti di ujung jalan. Suara langkah kaki seorang wanita muda yang terburu-buru menarik perhatian Lucien. Ia mendengar ketukan pelan di pintu studionya.
"Permisi?" Suara lembut itu memecah keheningan. Pintu sedikit terbuka, dan seorang wanita muda berdiri di ambang pintu, tampak ragu-ragu. "Apakah ini studio milik Lucien Fournier?"
Lucien menoleh, sedikit terkejut dengan kedatangan tamu yang tak diundang. "Ya, saya Lucien. Dan Anda siapa?" tanyanya dengan nada tenang, meski ekspresinya tetap datar.
Wanita itu melangkah masuk dengan ragu. "Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu. Nama saya Colette Dubois," katanya dengan senyum canggung. "Saya mahasiswa seni dari Sorbonne, dan saya sangat mengagumi karya-karya Anda. Saya... sebenarnya, saya datang ke sini karena saya mencari mentor."
Lucien mengangkat alisnya, mengamati Colette dengan lebih teliti. Wanita muda itu berambut cokelat gelap yang terurai hingga bahu, mengenakan jaket tebal berwarna biru tua untuk melawan udara musim gugur yang dingin di luar. Matanya cerah, penuh dengan antusiasme yang mengingatkan Lucien pada dirinya sendiri ketika pertama kali menginjakkan kaki di dunia seni bertahun-tahun lalu.
"Mentor?" Lucien mengulangi, sedikit skeptis. "Mengapa saya?"
Colette tersenyum, gugup namun tegas. "Saya telah melihat beberapa pameran Anda di galeri sekitar Paris. Lukisan Anda memiliki kedalaman emosional yang tidak banyak pelukis lain miliki. Saya ingin belajar dari Anda—dari bagaimana Anda menyampaikan emosi itu ke kanvas."
Lucien tertawa sinis, dan menoleh kembali ke kanvas kosong di depannya. "Lucunya, saya bahkan tidak bisa menyampaikan apa pun saat ini. Anda datang pada saat yang salah, Mademoiselle Dubois."
Colette, yang tampak tak gentar, melangkah lebih dekat ke Lucien dan melihat kanvas kosong itu. "Mungkin saat inilah yang tepat. Terkadang, kita membutuhkan perspektif baru untuk kembali menemukan jalan."
Lucien terdiam. Kata-kata Colette menembus dinding ketidakpeduliannya. Ia tahu gadis ini berbeda—tidak seperti orang-orang yang hanya datang mencari popularitas atau keuntungan. Colette sepertinya benar-benar ingin belajar dan memahami. Dan mungkin, pikirnya, ia bisa membantu Lucien menemukan kembali apa yang hilang.
"Baiklah," akhirnya Lucien berkata setelah hening yang panjang. "Tapi jangan harap ada keajaiban. Saya bukan pelukis hebat seperti yang Anda bayangkan."
Colette mengangguk penuh semangat. "Terima kasih, Tuan Fournier. Saya berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh."
Lucien mengangguk pelan, masih belum yakin dengan keputusan barunya. "Datanglah lagi besok pagi. Kita bisa mulai dengan melihat karya-karyamu terlebih dahulu."
Setelah mengucapkan terima kasih dengan sopan, Colette keluar dari studio. Suara pintu yang tertutup pelan meninggalkan Lucien kembali sendiri di dalam ruangan. Namun kali ini, ada sedikit perubahan dalam hatinya—sebuah percikan kecil, hampir tak terasa, namun cukup untuk membuatnya berpikir ulang tentang kanvas kosong di depannya.
Ia meletakkan gelas anggurnya dan mendekati kanvas itu. Dengan perlahan, ia mengambil kuas dan mencelupkannya ke dalam warna biru tua. Warna itu mengingatkannya pada malam-malam di Paris, saat ia masih percaya pada cinta, sebelum semuanya runtuh. Dengan satu gerakan, ia menggoreskan kuasnya ke kanvas. Meski sapuan pertamanya sederhana, ia merasakan sesuatu yang hilang kembali ke dalam dirinya—sebuah dorongan yang selama ini tertutup oleh kegelapan hatinya.
Malam semakin larut, dan suara hiruk-pikuk kota Paris mulai mereda. Lucien berdiri di depan karyanya, masih jauh dari selesai, namun kali ini ia merasa sedikit lebih hidup. Colette Dubois, dengan semangat mudanya, mungkin adalah kunci untuk membuka kembali dunia yang pernah ia tinggalkan.
Di luar, lampu-lampu kota Paris berkelip seperti bintang-bintang, mengingatkan Lucien bahwa selalu ada kesempatan untuk memulai lagi, bahkan ketika semuanya tampak gelap.
---
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You (Short Story) [END]
Short StoryGenre: romance, drama, slice of life, short story, nobl