Keesokan harinya, udara pagi di Seoul kembali segar. Ye-eun memutuskan untuk mengunjungi kafe kecil di dekat kampusnya, tempat dia sering menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Kafe itu bernama “Luna,” terletak di sudut jalan dengan jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk dengan lembut. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara, menciptakan suasana hangat dan nyaman.
Saat Ye-eun duduk di salah satu meja dekat jendela, ia tak bisa menahan senyumnya ketika mengingat pertemuannya dengan Lee Kangha kemarin. Di dalam hatinya, ada rasa harap bahwa dia bisa bertemu lagi dengan penulis idolanya.
“Selamat pagi, nona Ye-eun!” sapa barista dengan ramah, menariknya dari lamunan. “Mau pesan apa hari ini?”
“Selamat pagi! Saya pesan cappuccino, ya,” jawab Ye-eun sambil merogoh tas untuk mengambil dompetnya.
Sementara menunggu pesanan, Ye-eun membuka buku catatan yang ia bawa, menulis beberapa ide cerita yang muncul di benaknya. Tak lama, cappuccino pesanan datang. Dia mengaduk kopi tersebut, dan kembali terhanyut dalam pikirannya tentang Kangha.
---
Sore itu, setelah selesai kuliah, Ye-eun merasa gembira dan memutuskan untuk kembali ke Taman Hangang. Suasana sore di taman tersebut selalu menyenangkan, dan dia berharap bisa menemukan Kangha di sana lagi. Ketika dia tiba, langit mulai memerah, menandakan matahari akan segera terbenam.
“Dia mungkin tidak datang lagi,” gumam Ye-eun pada dirinya sendiri, sedikit kecewa. Namun, saat dia berjalan menyusuri jalan setapak, dia melihat sosok Kangha duduk di bangku yang sama, dengan laptop di pangkuan dan pena di tangan. Rasa gembira memenuhi hati Ye-eun saat dia mendekatinya.
“Hai, Kangha!” sapanya dengan semangat.
Kangha mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Ye-eun! Senang melihatmu lagi. Apa kabar?”
“Baik! Aku baru saja dari kafe. Pikirku, lebih baik ke sini lagi,” jawab Ye-eun, berusaha terlihat tenang meskipun hatinya berdebar.
“Bagus! Aku sedang mencoba menyelesaikan beberapa bagian dari novelku. Kadang-kadang, suasana seperti ini bisa memberi inspirasi,” Kangha menjelaskan sambil menutup laptopnya.
“Bolehkah aku duduk?” tanya Ye-eun.
“Tentu, silakan,” jawab Kangha sambil menggeser tasnya untuk memberi ruang.
Ye-eun duduk dan melihat Kangha dengan rasa kagum. “Apa tema novel yang kamu tulis saat ini?”
“Hmm, sulit menjelaskan secara singkat. Tapi ini tentang perjalanan seorang penulis muda yang berusaha menemukan suaranya di tengah berbagai tantangan hidup,” Kangha berkata, menjelaskan dengan antusias.
“Sepertinya menarik! Aku selalu berusaha menemukan suara dan gaya penulisan sendiri,” balas Ye-eun.
“Setiap penulis memiliki perjalanan uniknya sendiri. Apa yang menginspirasimu?” Kangha bertanya, mata mereka bertemu sejenak.
Ye-eun merasa nyaman berbagi dengan Kangha. “Aku suka menulis tentang pengalaman sehari-hari dan hubungan antarmanusia. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari cerita orang lain, bukan?”
Kangha mengangguk. “Benar. Cerita orang lain adalah sumber inspirasi yang luar biasa. Itulah yang membuat menulis begitu berharga.”
Malam mulai menampakkan dirinya, dan bulan mulai muncul di langit. Cahaya bulan yang lembut menambah keindahan suasana. Ye-eun merasakan ketenangan saat berbicara dengan Kangha, dan keduanya mulai berbagi lebih dalam.
“Aku ingin menulis novel yang bisa menyentuh hati orang-orang, seperti karya-karyamu,” Ye-eun mengungkapkan keinginannya.
“Menulis adalah tentang kejujuran dan kerentanan. Ketika kita menulis, kita membuka diri kepada pembaca,” jawab Kangha. “Jadi, jangan takut untuk berbagi bagian dari dirimu.”
“Kadang aku merasa ragu, seperti tidak cukup baik,” ungkap Ye-eun, merasa perlu berbagi. “Tapi setelah membaca bukumu, aku merasa ada harapan.”
Kangha tersenyum, terlihat bersemangat. “Itulah sebabnya penting untuk terus menulis. Setiap kalimat yang kamu tulis adalah langkah menuju tujuanmu. Ingat, tidak ada penulis yang sempurna di awal.”
Ye-eun merasa terinspirasi. “Bagaimana dengan perjalananmu sebagai penulis? Apakah kamu selalu tahu ingin menjadi penulis?”
“Tidak sama sekali. Aku mulai menulis sebagai pelarian dari kenyataan. Awalnya, aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Namun, ketika aku mulai melihat pembaca merespons karyaku, semangatku tumbuh,” Kangha menjelaskan.
“Jadi, ada harapan untukku juga,” kata Ye-eun, merasa lebih percaya diri.
“Pasti ada. Jangan biarkan ketakutanmu menghentikanmu. Setiap penulis mengalami masa-masa sulit. Yang terpenting adalah tetap melangkah maju,” Kangha berkata, suaranya menenangkan.
Ye-eun menyadari bahwa perbincangan ini bukan hanya tentang menulis, tetapi juga tentang impian dan harapan. Mereka berbagi cerita tentang bagaimana tulisan bisa menjadi penghubung antara hati manusia, menjalin kedekatan yang mendalam di antara mereka.
“Malam ini indah, ya?” Kangha menatap bulan. “Seperti kisah yang belum ditulis.”
“Ya, aku setuju,” Ye-eun tersenyum. “Bulan selalu membuatku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari diri kita.”
Kangha menatap Ye-eun dengan penuh perhatian. “Kamu memiliki pandangan yang menarik tentang dunia. Teruslah menulis, dan jangan takut untuk berbagi kisahmu.”
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang berkilau, dua jiwa mulai menjalin hubungan yang lebih mendalam, berbagi impian dan inspirasi. Setiap kata yang diucapkan seolah menjadi benang halus yang menghubungkan hati mereka, menciptakan ikatan yang kuat dan penuh harapan untuk masa depan.
---
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/378323465-288-k341820.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You (Short Story) [END]
Short StoryGenre: romance, drama, slice of life, short story, nobl