Canvas of Dreams (2/5)

1 0 0
                                    

Jejak Warna dan Rasa Kagum

Pagi berikutnya, Paris diselimuti kabut tipis yang menyelimuti jalan-jalan sempit di Montmartre. Suara gemericik air di jalan berbatu menambah sentuhan melankolis di kawasan seni ini. Colette berjalan dengan langkah penuh harap menuju studio Lucien, melawan dinginnya udara musim gugur. Matanya bersinar dengan antusiasme, menyusuri jalanan yang pernah dilalui para seniman besar di masa lalu.

Studio Lucien terletak di sudut Rue de Montmartre, sebuah bangunan tua dengan jendela besar yang menghadap ke jalan. Saat Colette mencapai pintu, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegugupannya. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah Lucien benar-benar serius dengan tawarannya kemarin.

Ia mengetuk pelan pintu kayu yang berat. Setelah beberapa detik, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka, menampilkan sosok Lucien dengan rambut cokelatnya yang acak-acakan dan tatapan yang tampak lelah.

"Selamat pagi, Tuan Fournier," sapanya dengan senyum yang hangat.

Lucien mengangguk kecil. "Masuklah."

Colette melangkah masuk ke studio, merasakan udara yang dipenuhi aroma minyak cat dan terpentin. Studio ini adalah dunia lain—sebuah tempat di mana realitas dan mimpi bertemu. Di setiap dinding tergantung lukisan dengan sapuan kuas yang kuat, penuh emosi, dan kaya warna. Ada lanskap pedesaan yang sunyi, potret wajah-wajah penuh misteri, dan bentuk-bentuk abstrak yang tampak berbicara tentang perjuangan batin.

Colette tidak bisa menahan rasa kagumnya. "Lukisan-lukisan Anda luar biasa," ujarnya sambil berjalan perlahan, matanya memindai setiap detail. "Mereka terasa hidup, penuh dengan cerita."

Lucien berdiri di belakangnya, memperhatikan bagaimana mata Colette bergerak dari satu lukisan ke lukisan lain. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Colette menatap karyanya. Dia bukan hanya pengagum seni yang biasa. Ada rasa ingin tahu yang mendalam, seolah-olah dia mencoba memahami setiap goresan kuas, setiap percikan warna yang ia gunakan.

"Apa yang membuatmu tertarik pada seni?" Lucien bertanya, suaranya tenang namun penuh perhatian.

Colette berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Seni adalah cara saya memahami dunia. Saat saya melihat sesuatu yang indah, atau bahkan sesuatu yang menyakitkan, saya merasa ada keinginan untuk menangkapnya di atas kanvas. Seperti... seperti mencoba mengabadikan emosi yang datang dan pergi begitu cepat."

Lucien mengangguk pelan, memahami betul perasaan itu. "Dan apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku?"

Colette tersenyum tipis, lalu memandangi salah satu lukisan abstrak di sudut ruangan—lukisan dengan warna-warna kontras, penuh ketegangan namun juga harmoni. "Saya melihat rasa sakit... dan juga harapan. Seperti ada perjuangan untuk menemukan kedamaian di tengah kekacauan."

Lucien terdiam sesaat, merasakan bagaimana kata-kata Colette seolah memukul tepat di jantung emosinya. "Kau benar," katanya pelan. "Setiap lukisan di sini adalah fragmen dari apa yang pernah kualami."

Colette tersenyum, merasa semakin dekat dengan pelukis yang selama ini ia kagumi dari jauh. "Itulah mengapa saya ingin belajar dari Anda. Anda tidak hanya melukis apa yang terlihat, tetapi juga apa yang dirasakan. Itu yang membuat lukisan-lukisan Anda begitu kuat."

Lucien berjalan ke meja kerjanya, tempat berbagai kuas, palet, dan tabung cat berserakan. "Kau tahu, aku tidak selalu merasa begitu," ujarnya sambil memutar salah satu kuas di tangannya. "Beberapa bulan terakhir ini, aku kehilangan arah. Apa yang kau lihat sekarang hanyalah bayangan dari apa yang dulu kurasakan."

Colette menatapnya dengan penuh simpati. "Mungkin yang Anda butuhkan adalah seseorang untuk mengingatkan Anda tentang apa yang membuat Anda jatuh cinta pada seni sejak awal."

Lucien tertawa kecil, meski tidak sepenuhnya ceria. "Mungkin kau benar. Tapi seni bukan hanya soal cinta. Terkadang, ini soal menghadapi kegelapan dalam diri kita sendiri."

Colette mendekat ke salah satu lukisan besar di tengah studio, sebuah potret wajah tanpa ekspresi, dikelilingi oleh latar belakang abu-abu yang suram. "Ini... siapa?" tanyanya.

Lucien menatap potret itu, matanya sedikit berkabut. "Seseorang dari masa laluku. Seseorang yang dulu sangat berarti, tapi sekarang hanya menjadi kenangan yang membayangi segalanya."

Colette merasakan ada luka mendalam di balik kata-kata Lucien. Ia tidak ingin mendesak lebih jauh, namun juga ingin menunjukkan bahwa ia peduli. "Setiap seniman punya cerita, Tuan Fournier. Dan mungkin, kisah-kisah itulah yang membuat karya kita begitu berharga."

Lucien tersenyum tipis, kali ini lebih tulus. "Kau benar, Colette. Setiap seniman memiliki cerita. Dan mungkin sudah waktunya aku mulai melukis ceritaku lagi."

Ia mengambil kanvas kosong dari sudut ruangan dan menaruhnya di atas easel. "Kita mulai dengan sesuatu yang sederhana," katanya sambil menyiapkan palet cat. "Kau bisa mulai dengan warna yang menurutmu mewakili perasaanmu hari ini."

Colette merasa gugup namun bersemangat. Ia mengambil kuas dan mencelupkannya ke dalam warna merah tua. Dengan hati-hati, ia menggoreskan kuas itu di kanvas, menciptakan sebuah garis yang tajam namun penuh semangat. Lucien mengamati setiap gerakannya dengan seksama.

"Merah," ujar Lucien sambil tersenyum. "Warna yang kuat. Apa yang kau pikirkan saat memilihnya?"

Colette berhenti sejenak, menatap garis merah yang baru saja ia buat. "Saya memikirkan semangat... dan juga keberanian. Saya ingin berani dalam setiap sapuan kuas saya, seperti yang Anda lakukan."

Lucien mengangguk, terkesan dengan jawaban Colette. "Bagus. Teruskan. Jangan takut bereksperimen dengan warna lain. Seni adalah tentang membebaskan diri dari batasan."

Mereka melanjutkan melukis bersama dalam diam, suara kuas yang bergesekan dengan kanvas menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Colette merasa setiap detik di studio itu semakin membawanya lebih dekat dengan dunia seni yang ia impikan. Dan di sisi lain, Lucien mulai merasakan percikan inspirasi yang sempat hilang.

Paris, dengan segala keindahan dan kerumitannya, terus bernafas di luar studio, namun di dalam, dua seniman sedang menemukan jejak baru di kanvas hidup mereka.

---

Bersambung

Because Of You (Short Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang